Ini terjadi beberapa hari lalu. Serombongan anak muda, setidaknya dalam hitunganku berjumlah lima orang melompat ke dalam bis ekonomi tujuan Semarang ketika bis yang telah 2,5 jam kutumpangi itu bergerak meninggalkan Wonosobo. Pakaian yang mereka kenakan? Oh, kostum hitam-hitam, kaos dengan aneka macam logo, nama band, dan event music. Celana, tas, dan jaket yang mereka kenakan penuh dengan jahitan emblem nama-nama band metal dan juga nama-nama komunitas musik bawah tanah. Salah satu dari mereka menggunakan kaos hitam dengan logo Mayhem warna kuning, sebuah group blackmetal tua asal Norway. Tujuan mereka? Kondektur bertanya pada mereka mengenai hal ini, sudah barang tentu bukan dalam rangka beramah tamah, melainkan untuk menentukan ongkos yang mesti mereka bayar. Kudengar mereka menjawab “Semarang” dan salah seorang dari mereka mengulurkan dua lembar limapuluh ribuan warna biru. Dan ini terdengar jelas di telingaku, bukan karena aku sengaja nguping, namun karena aku duduk di bangku di samping bangku dimana tiga diantara mereka duduk berdampingan. Salah satu diantara mereka bertanya pada kondektur, apakah nantinya bis kami akan melalui GOR Tri Lomba Juang. Tak jelas benar apa jawaban kondektur atas pertanyaan ini, namun kurasa ia memberikan jawaban yang menentramkan.
Postingan Populer
-
Dari berbagai sumber Senin, 10 September 1984. Seorang oknum ABRI, Sersan Satu Hermanu, mendatangi mushala As-Sa'adah untuk menyita p...
-
Pers merupakan salah satu garda demokrasi. Tingkat demokratisasi suatu bangsa dapat diukur dari kebebasan pers yang dianut sistem sosial k...
-
Masih dalam suasana dirgahayu kota Jakarta yang ke-484, saya ingin memposting mengenai kesenian Lenong Betawi. Kesenian ini mampu bertahan ...
-
Ini adalah daftar video musik yang disensor baik oleh MTV, MTV2, VH1, CMT, BET, Q TV, Juice TV, Fuse, The Box, C4 atau MuchMusic . Termasu...
-
Solo yang dikenal sebagai salah satu kota budaya dan juga sebagai salah satu kota yang sejak dulu menjadi barometer scene underground tanah...
Selasa, 19 Oktober 2010
Kais Ingatan : Konser Sepultura 1992
Mahfumlah aku, bahwa mereka, anak-anak muda ini, hendak mendatangi event underground yang memang diadakan hari itu, Sabtu sore 23 January 2009 di GOR Tri Lomba Juang. Aku mengetahuinya, karena Halim Budiono, gitaris Cranial Incisored, mengundang melalui situs pertemanan Facebook untuk mendatangi event ini. Bersama dengan band Jogja lainnya Death Vomit, Cranial Incisored memang menjadi atraksi utama event di kota Lumpia tersebut. Namun sayangnya karena satu dan lain hal untuk invitasi ini terpaksa kuklik tombol “nee” alias tidak (aku mensetting Facebook-ku menggunakan bahasa Belanda), yang artinya aku tidak akan datang.
Mereka, sekawanan anak muda berpenampilan metal ini pun bercakap-cakap dan bercandaria sepanjang perjalanan. Hingga akhirnya salah satu dari mereka menyalakan sigaret, dan padanya kupinjam pemantik api untuk pula menyalakan sebatang rokok filter yang kubawa (aku bukan perokok (lagi), namun kebetulan ada kusimpan sebatang sisa rokok kemarin hari, rokok yang dibeli dalam rangka social smoker). Setelah rokok berhasil menyala, pada pemuda yang meminjamkan korek gasnya aku bertanya, pertanyaan dalam dalam bahasa Jawa halus:
“Mau ke Tri Lomba Juang?”, pertanyaan yang segera diiyakannya. Padaku kemudian ia bertanya soal lokasi gedung tersebut. Dua kawannya yang duduk di samping ikut menengok memerhatikan. Aku sendiri tak mengetahui letak gedung olah raga ini, seumur-umur diri ini belum pernah ke sana. Walaupun sebagian besar hidupku dihabiskan di Jawa Tengah dan Semarang adalah ibukota provinsi ini, kota Semarang tetaplah menjadi kota yang asing bagiku. Terus terang aku lebih mengenal Melbourne atau Den Haag daripada Semarang. Namun padanya kukatakan bahwa Gedung itu pastilah mudah dijangkau. Asal kita turun di sub terminal Banyumanik, pasti akan ada angkot yang mengarah ke sana.
“Umurnya berapa Mas?”, aku bertanya kemudian, yang segera dijawab bahwa dia berumur 21 tahun. “Kelahiran 1989″ katanya menyambung ketika aku menebak tahun lahirnya. Aku menghitung dalam hati dan tak lama kemudian berkata, “Waktu panjenengan umur 3 tahun, saya juga seperti anda, pergi ke konser metal. Saya menonton Sepultura pada tahun 1992.” Wajah anak muda yang menggunakan celana doreng-doreng eks tentara dengan berbagai emblem berbau metal ini terkejut, dan menyambung “Di mana Pak?”. Dan kujelaskan padanya bahwa aku menonton di Surabaya. Salah seorang temannya yang duduk di samping separuh berteriak dan dalam Jawa ia berkata “Umurku waktu itu baru setahun”.
Kemudian baik dengan maksud menjawab pertanyaannya maupun atas inisiatifku sendiri kukatakan bahwa konser Sepultura adalah konser band metal asing yang pertama pernah diadakan di negeri ini. Kabar tentang akan adanya konser ini sendiri disambut dengan amat gembira oleh khalayak penggemar musik keras tanah air kala itu, terutama mereka yang fans berat Sepultura. Betapa tidak, band Brazil ini sedang dalam puncak kepopulerannya kala itu. Mereka belum lama merilis album Arise, album yang amat sukses dan membuat mereka semakin diakui dan ditakuti dalam kancah metal dunia. Di tanah air sendiri pada tahun-tahun Sepultura sering menjadi bahan liputan majalah HAI, yang pernah pula membandingkannya dengan Metallica. Kedatangan sebuah band raksasa asal negeri samba ini dalam konteks masa itu dimana show metal yang melibatkan artis bertaraf internasional belum pernah ada, ketika arus informasi belum sederas sekarang dan internet belum menjadi hal lumrah seperti sekarang ini tentu adalah suatu keluarbiasaan yang sukar dideskripsi dengan kata-kata. Apalagi show itu akan mengambil tempat di Surabaya, ibu kota provinsi Jawa Timur yang pada masa itu masih dikenal sebagai Ibukota rock dan metal Indonesia, suatu predikat yang sekira satu dasawarsa ini tak lagi melekat dan telah disandang kota Bandung.
Diperkirakan 100,000 penonton menghadiri show dalam rangka Sepultura World Tour 1992 tersebut. Angka sebesar itu aku baca sendiri melalui situs resmi mereka Sepultura.com.br, suatu event metal yang tercatat sebagai salah satu pertunjukan metal terdahsyat yang pernah ada di muka bumi. Dalam film dokumenter Global Metal yang petikannya bisa disaksikan di situs Youtube, orang bisa menyaksikan testimoni Max Cavalera atas event ‘gila’ tersebut. Analisa singkat akan show ini dari sudut sosial politik juga disampaikan oleh Andre Tiranda, gitaris Siksakubur, sebuah band besar dari Jakarta.
Membuka show adalah band lokal Power Metal dan juga Mel Shandy and the Metal Boyz. Kendati penonton terus meneriakkan “Sepultura!..Sepultura!” (lagi-lagi dengan gaya suara menggeram), kedua band tersebut toh mampu ‘membeli waktu’ dan membuat penonton berjingkrak ria mengikuti berbagai nomor yang mereka bawakan. Power Metal yang diperkuat gitaris barunya Lucky menggebrak dengan lagu-lagu bertempo cepat seperti Timur Tragedi dan Satu Jiwa. Sementara itu tak banyak yang bisa aku ingat dari penampilan Mel Shandy dan Metal Boyz. Yang pasti keduanya boleh dikata terhitung sukses menjadi band pembuka.
Tiket untuk menonton pertunjukan itu adalah Rp.6,500,- (kalau ku tak salah ingat), dan bagi penonton yang bisa menunjukkan kupon diskon dari majalah HAI berhak mendapatkan potongan sebesar Rp. 1500. Harga tiket sebesar itu sudah termasuk satu bungkus rokok Djarum Super (perusahaan rokok yang menjadi sponsor pertunjukan ini), yang menurut ingatanku kala itu di pasaran seharga tak lebih dari Rp,500,-. Seingatku pula, banyak penonton yang tak merokok, atau perokok namun tak cocok dengan Djarum Super menukarkan rokok dengan sebotol air mineral yang dijajakan pedagang di tengah kerumunan massa. Aku sendiri tak memilih menukarkan rokok itu, dan tetap menyimpannya di kantung untuk kuhisapi sendiri.
Pemuda bercelana doreng sobek dengan berbagai emblem itu, dan juga kedua kawannya mulai takzim menyimak ocehanku. Pada mereka kukatakan bahwa angka 1,500 sebagai potongan tiket untuk ukuran kala itu cukup besar dan lumayan, terbukti banyak orang (termasuk aku) yang rela datang ke kantor perwakilan majalah HAI (atau Gramedia??) untuk sekedar menukarkan kupon. Itupun bukan berarti diskon atau karcis langsung kami dapatkan. Kami harus kembali lagi ke kantor perwakilan itu beberapa hari kemudian sekira satu hari menjelang hari H untuk mengambil tiketnya. Bisa dimaklumi, panitia tidak mau kecolongan membagikan karcis terlebih dahulu, daripada menanggung resiko dipalsunya karcis.
Konser Sepultura secara keseluruhan berlangsung ‘mengerikan’, bukan karena konser ini menyebabkan rusuh, namun karena jumlah penonton yang amat membeludak dan menggelora. Entah dari mana datangnya, puluhan ribu anak muda dengan kostum hitam-hitam dan berpenampilan dekil datang menyerbu Stadion Tambaksari. Banyak diantara mereka, termasuk aku ini, adalah penggemar yang rela menempuh perjalanan jauh untuk menyaksikan event yang barangkali hanya sekali dalam hidup dialami satu atau dua hari menjelang hari H. Dan kalau sudah begitu, kebersihan badan bukan menjadi hal yang penting dipikirkan. Mungkin pula penampilan kumal, dekil, dipadu dengan kostum hitam-hitam, rambut panjang adalah dress code setiap pertunjukan metal. Aku sendiri beruntung karena mempunyai banyak kerabat di Surabaya, dan bisa tinggal menginap beberapa hari sebelum pertunjukan berlangsung (kebetulan show diadakan bertepatan dengan musim libur sekolah). Walau untuk mencapai Surabaya perlu 12 jam perjalanan menumpang KA Ekonomi Purbaya (akronim dari Purwokerto-Surabaya; kini telah digantikan dengan KA Logawa) aku toh masih bisa memulihkan kesegaran badan sehingga tak perlu berpenampilan dekil, kucel, dan bau. Kostumku? Sebuah kaus Metallica hitam produk Gala Ria, sebuah produsen kaos band yang cukup terkenal kala itu. Celana? jeans merek Lea ketat biru muda yang telah kugambari sendiri dengan logo Testament, band San Fransisco pujaanku. Sepatu? Mulanya aku memakai sepatu kets yang sudah barang tentu aku lupa mereknya, tapi entah mengapa saat itu diri ini berubah pikiran untuk berganti memakai sandal saja, sebuah sandal merek Neckerman. Keputusan ini belakangan amat sangat kusesali, karena beberapa jam kemudian puluhan dam bahkan ratusan kali aku menjerit kesakitan ketika jari-jari kakiku terinjak sepatu dan kaki penonton yang lain. Satu hal yang sesungguhnya tak perlu kupelajari sampai mengalami sendiri: sungguh tidak tepat pula tidak patut datang ke konser metal dengan mengenakan sandal!
Sekitar jam 3 sore aku pergi berangkat dari rumah Paman di Jalan Dharmawangsa dengan menaiki bemo, sebutan masyarakat Surabaya untuk kendaraan umum.Tak sampai setengah setengah jam aku sudah tiba di pelataran stadion. Para metalheads sudah terlihat menyemut, dan mulai berteriak-teriak agar petugas membuka pintu stadion. “Buka….Bukaa!!” demikian diteriakkan dengan serempak bersahut-sahutan dan menggeram-geram sembari menggedor gedor pintu stadion. Tentu saja dengan suara tenggorokan yang dimirip miripkan layaknya suara vokalis death metal. Dan entah karena memang sudah waktunya atau memang sudah dijadwalkan, pintu stadion pun segera dibuka. Aku dan ratusan orang lainnya segera berlarian memasuki stadion untuk segera memilih tempat menonton paling depan. Kami kemudian duduk duduk di lapangan rumput, menanti dengan perasaan hati yang gembira meluap-luap. Panggung telah disiapkan dengan apik. Yang kuingat, sembari mematangkan segala sesuatunya di panggung diputarkan album Obituary The End Complete yang kala itu juga termasuk rilisan baru.
Ada satu pemandangan yang tak bakal kulupa, yakni bahwa saat itu kulihat seorang Ibu hamil yang juga menanti dengan sabar di deretan tong pembatas paling depan didampingi seorang laki-laki yang barangkali adalah suaminya. Aku tak tahu pasti bagaimana nasibnya beberapa jam kemudian ketika penonton sudah dalam keadaan chaos saling berbenturan badan larut dalam kebisingan yang dibawakan Sepultura dengan sejuta emosi di kepala. Sang bayi, seandainya lahir dengan selamat, pastilah kini berumur tak kurang dari 17 atau 18 tahun.
Ada sedikit ketegangan ketika Sepultura hendak memulai show. Pihak Sepultura ingin lampu stadion dimatikan seutuhnya. Sorot lampu stadion yang disisakan menyala terasa mengganggu tata lampu pangung. Sang MC mendaulat penonton untuk berteriak mematikan lampu sorot stadion, suatu ajakan yang kemudian dituruti penonton dengan teriakan serempak, namun usaha ini toh sia-sia. Sampai akhirnya karena terhimpit waktu Sepultura pun turun ke panggung. Max dengan kedua tangan menjulur ke arah penonton dan rambut panjangnya yang bergelombang keemasan terurai menyapa dengan ucapan “Selamat Malam” yang ketika diucapkan dengan suara serak paraunya terdengar “Selamat Maleeem.” Sebenarnya tak ingat pasti diri ini apakah sapaan ini diucapkannya ketika pertama kali membuka konser, tapi yang pasti seperti itulah apa yang pernah diucapkannya dan yang terdengar di telingaku.
Dan demikianlah, manakala Sepultura membuka lagu pertamanya sekira jam tujuh malam, slam dance, saling bentur antar penonton adalah hal yang tak terelakkan. Masih kuingat sedikit kelucuan bahwa aksi slam dance ini juga dimanfaatkan untuk saling beradu badan antara kaum remaja Malang dan Surabaya. Diantara gempuran musik yang dimainkan Max Cavalera dan gerombolannya di panggung, terdengar seruan agar massa Arema (akronim dari Arek Malang) berjongkok. Dan ketika jelas mana ‘kawan dan lawan’, kedua massa tadi saling bergempuran badan dan siapapun yang ada di dekatnya sekalipun dari neraka akan ikut terkena gempuran pula. Yang kuingat badan ini begitu pegal, begitu sakit sakit di tengah lautan manusia yang saling berhantaman badan dengan theme song lagu-lagu nan membakar yang dibawakan Sepultura secara live . Namun inilah metal show. Semua menyadari dan mengerti belaka, bahwa kami bukan di pertunjukan musik jazz atau country yang bisa dinikmati sambil minum segelas beer atau kopi sembari menari ceria dan senyam senyum menarik perhatian lawan jenis.
Adu badan, dan kelelahan akibat sudah terbakar dan mengeluarkan banyak energi di dua band pembuka sebelumnya membuat banyak diantara penonton mulai kecapaian ketika Sepultura membawakan separuh dari set list mereka. Salah satu penonton yang kecapaian tentunya diri ini. Lelah rasanya leher ini berheadbang mengikuti irama musik mereka, dari Beneath The Remains, Mass Hypnosis hingga Slaves of Pain dan Arise. Aku ingat betul bahwa bahwa nomor-nomor yang mereka bawakan di panggung dibawakan dengan lebih cepat dan keras daripada versi studio. Di Tambaksari itu pulalah mereka membawakan Orgasmastron, lagu baru yang diperkenalkan oleh Max dengan menggunakan bahasa Indonesia: “Ini Lagu Baru Kami…!” serunya . Max terkadang berkomunikasi dengan penonton sebelum membawakan lagu-lagunya, dan tentu saja tidak semua yang dikatakannya dapat didengar dan dimengerti oleh penonton. Namun untuk kalimat-kalimat sederhana seperti yang menyangkut judul lagu, sebagian dari penonton masih bisa menangkap. Ketika mereka akan membawakan Mass Hypnosis, Max berteriak “Back To The Arteries…” dan massa menyahut “Mass Hypnosis!”. Dan mereka menggebrak lagi, dengan cepat dan keras, dengan aksi headbang tiada henti membuat penonton kelojotan.
Aksi Sepultura benar-benar membakar dan chaotic, terutama bagi para penonton yang berada di depan panggung. Tentu bagi mereka yang menonton dari kursi tribun akan memiliki pengalaman dan kesaksian yang amat berbeda denganku. Mereka barangkali tak akan tahu keganasan slam dance dan bisingnya musik dari depan panggung yang amat berdekatan dengan speaker panggung yang memekakkan. Ini jugalah yang di kemudian hari menjadi pembicaraan mulut ke mulut bahwa konser Sepultura berlangsung rusuh. Bahkan sebagian penonton yang menyaksikan konser inipun meyakini demikian manakala menyaksikan gelombang manusia di lapangan rumput Stadion Tambaksari saling berhantaman dan berkejaran diantara gemuruh dan deru musik keras nan menghajar. Kalau boleh kuluruskan, apa yang dibilang sebagai kerusuhan itu sebenarnyalah aksi slam dance yang tak lain adalah bagian dari ekspresi dalam mengapresiasi musik thrashmetal.
Bagiku dan kurasa semua yang menyaksikan dari dekat, tentu sesuatu yang mengharukan dan membahagiakan ketika bisa melihat para personil Sepultura yang beraksi dari jarak dekat. Igor dibantu dengan satu kipas angin kecil untuk membantunya mengusir panas dan peluh dalam menghajar drum set merek Sonor miliknya. Max dengan gitar BC Rich putihnya, dengan tato di sekujur badan yang biasanya hanya dilihat di majalah kini ada di depan mata. Andreas Kisser dengan gitarnya (merek Jackson??) yang indah dengan hiasan daun-daun menjalar di sepanjang fret. Adapun Paulo nampak kalem dan sesekali berheadbang mendentumkan bass-nya.
Di depan panggung pula, kita terseret oleh desak dan hempasan serta benturan lautan manusia yang seolah kena sihir cepat dan kerasnya musik Sepultura. Tak ada perkelahian, tak ada kemarahan. Ini thrashmetal, bung!. Aparat yang dikerahkan berjaga berseragam doreng, para anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Dari kesatuan dan angkatan mana aku tak ingat betul. Salah satu dari mereka sangat kuingat bernama Blegur, seorang yang dari penampilan fisiknya aku duga berasal dari Papua atau setidaknya dari Indonesia bagian timur. Blegur dan rekan-rekannya yang berjaga di depan mengayun-ayunkan tongkat rotannya ketika penonton dirasa tak lagi tertib. Kasihan dirinya, dan tentu para aparat yang lain karena kerap disoraki penonton dengan makian kasar dan mendapat lemparan-lemparan aneka benda kecil baik sengaja maupun tak disengaja.
Sampai akhirnya Blegur yang berdiri di tong yang dipasang di depan panggung mendapat lemparan puntung rokok yang membara, amarahnya tak tertahankan lagi. Keterlaluan memang penonton yang menjentikkan puntungnya. Kulihat sendiri puntung itu melesat dan membentuk percikan bunga api pembakaran tembakau ketika menghantam baju doreng Blegur. Ia melompat turun dan segera berlari mengejar sang pelempar jahanam, dan tentu aku tak tahu bagaimana kelanjutan aksi kejar-kejaran tentara berbadan besar dengan tongkat rotan mengayun ayun melawan pemuda berandalan salah satu penonton. Aku sibuk sendiri menjaga keseimbangan dan menahan sakit benturan benturan yang terus dialami sepanjang panggung. Agak lelah, ada pada masanya aku menarik diri agak ke belakang. Sepultura masih ganas memainkan nomor-nomornya yang tentu tak bisa aku ingat satu persatu. Yang kuingat, aku mencoba meneriakkan satu judul Troops of Doom (dari album Schizophrenia, 1987) dengan harapan mereka membawakannya. Namun hingga akhir pertunjukan aku toh harus kecewa karena Sepultura rupanya tak memasukkan lagu itu ke dalam set listnya.
Apa yang kutulis di atas tentang konser Sepultura di Surabaya 1992 sudah barang tentu tak semuanya adalah bagian-bagian yang kuceritakan pada mereka para pemuda yang kala itu sedang menempuh perjalanan menuju GOR Tri Lomba Juang. Apa yang kutulis di atas pula bukan semua yang terjadi, karena hanya itu yang bisa kuingat yang barangkali pula dengan sedikit salah ingat. Tentu amat banyak fenomena yang luput dari indera pengamatanku. Pada intinya kukatakan pada mereka para pemuda itu bahwa apa yang mereka lakukan, pergi jauh ‘hanya untuk menonton pertunjukan musik’ adalah pula hal yang pernah menjadi bagian dari hidupku. Generasi muda metal seperti mereka sekarang lebih beruntung bahwa komunitas underground sudah maju dan bisa menggelar event bahkan di gedung gedung kecil semacam balai desa, atau kecamatan.
Pada mereka yang lambat laun memandangku dengan tatapan takjub kukatakan bahwa seiring semakin bertambah umur dan kesibukan pekerjaan, aku menjadi tak lagi punya kesempatan dan bahkan nyali untuk datang ke show metal. Bahkan kenyataan bahwa aku pernah berada di tengah-tengah penonton panggung Sepultura adalah sesuatu yang sudah barang tentu kerap aku tak percayai, dan mungkin takkan lagi terulang dalam perjalanan hidupku ke depan. Pada mereka kukatakan, bahwa show Sepultura, meski sebuah show pertunjukan musik yang keras dan brutal, toh nyatanya tak menghasilkan korban nyawa satu orangpun. Ini amat berlainan dengan konser sejumlah band ‘metal’ alias mellow total di tahun 2000an yang justeru kerap menelan nyawa manusia. Aku, dan juga para anak muda berkaus hitam itu sepakat, bahwa bukan jenis musik yang menyebabkan petaka dalam sebuah event musik, namun semata soal teknis yang berkaitan dengan kapasitas gedung dan juga kesiapan dan keseriusan organizer dalam mengantisipasi kemungkinan terburuk.
Show Sepultura di Surabaya yang kutonton manakala umurku baru beberapa bulan menginjak 17 tahun lebih dari 17 tahun berlalu dari ketika tulisan ini kubuat mencatatkan diri sebagai pertunjukan metal pertama bertaraf internasional di tanah air, suatu show metal yang menuai suskses teramat besar yang berlangsung relatif tertib dan aman. Tak ada kerusakan, tak ada nyawa melayang sia-sia. Apa yang dicatat dalam show ini akan selalu menjadi kontra argumen abadi thesis yang menyatakan bahwa konser metal selalu rawan dengan kekerasan dan kerusuhan. (Manunggal K. Wardaya)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Wah, ane jg nonton di Jakarta. Dahsyat.
BalasHapus