Postingan Populer

Rabu, 11 April 2012

Ranu Pane, Gerbang Menuju Keabadian Mahameru



Untuk melihat galeri foto lebih lengkap silahkan mengunjungi wildestact.blogspot.com

Ini perjalanan yang sulit buat ga dikenang dalam hidup gua. Cerita ini alhamdulillah masih ada di ingetan gua selama 1 tahun. Perjalanan tepat bulan Juli, lupa tanggal berapa, dimulai dari Stasiun Jatinegara berdua bareng temen gua, Rizky Vitiant atau Munir. Nama kereta yang gua naikin itu KA Matarmaja tujuan Malang. Berangkat sekitar pukul 14:00 WIB, jadi hawa panas matahari dan gerahnya gerbong kelas ekonomi bener-bener total banget waktu itu.

Kami berdua sadar bahwa perjalanan Jakarta – Malang itu ga singkat. Maka kami tutupi dengan pembicaraan-pembicaraan tanpa makna saja hingga malam, sekedar ingin melupakan lamanya perjalanan kami. Secara kebetulan di dalam kereta kami berkenalan dengan 2 orang bernama Yugos dan Santo. Kesan pertama melihat mereka itu agak aneh, karena Yugos yang perawakannya gemuk dan memakai kacamata ini tidak membawa barang apa-apa kecuali hp dan kartu identitas, beda halnya dengan Santo yang lengkap dengan daypack Consinanya.

Sepanjang perjalanan dari Semarang kami mulai berbincang-bincang dengan Yugos. Diapun memberikan identitasnya, dan wow, ia sedang mengambil S2 dokter spesialis bedah. Rupanya mereka berdua berasal dari Universitas Yarsi di Jakarta Pusat yang ingin berlibur ke Bromo. Dari pembicaraan dengannya, gua mengambil kesimpulan bahwa orang ini seorang backpacker adict. Kenapa adict?, ya karena selain hobi naik turun gunung, ia juga jika berpergian keluar kota jarang sekali membawa barang bawaan seperti pakaian. Cukup membeli pakaian dijalan dan sehabis pakai langsung dibuang, hmm.

Gilanya, gua berdua sejak awal perjalanan masih belum tau ingin kemana saja ketika di Malang, maklum kami belum pernah kesana. Beda halnya dengan Yugos yang sudah berkali-kali mengunjungi Bromo. Tadinya kami juga punya gambaran ingin ke Pulau Sempu. Namun niat itupun pupus karena kami beralih untuk ikut dengan 2 orang Yarsi itu ke Bromo.

Tepat pukul 8 pagi, kami berempat akhirnya tiba di stasiun Kota Baru Malang. Setelah sarapan soto didepan stasiun, kami beranjak berangkat menuju Pasar Tumpang. Pasar Tumpang merupakan daerah dimana para wisatawan atau para pendaki yang ingin ke kawasan Bromo ataupun Semeru menunggu angkutan yang ingin kesana. Bila ingin ke Bromo atau Semeru dari Tumpang, wisatawan akan diantarkan menggunakan jeep karena medannya yang cukup sulit dilalui. Tapi kami mendapatkan kabar buruk, jalur menuju Bromo waktu itu sedang tertimpa longsor. Akhirnya setelah berunding kami memutuskan untuk menuju Semeru saja, tapi hanya sampai Ranu Pane dan bila sempat kan terus ke Ranu Kumbolo yang lebih tinggi lagi. Kami tidak mau ambil resiko mengingat barang bawaan kami tidak mendukung untuk pendakian. Urus surat kesehatan selesai, logistik terkumpul, sekitar jam 2 siang kami langsung cabut menggunakan jeep hardtop terbuka dengan muatan sekitar 15 orang. Harga sewa jeep ini 450 ribu untuk sekali perjalanan. Di rombongan perjalanan kami bergabung dengan 6 orang pendaki dari Unpad Bandung. Mereka seumuran semua dengan saya dan munir.

Awal mula perjalanan itu biasa saja, hanya jalan aspal mulus dengan tipikal pedesaan pada umumnya. Namun sehabis pertigaan Jemplang, jalur yang dilewati sangat rusak dan berdebu. Pemandangan kanan kiri memang indah, gua pun tergoda untuk mengeluarkan kamera. Keputusan yang sangat nekat memang, mengingat itu kamera baru dan belum dipasang filter untuk melindungi lensa dari debu yang berterbangan dijalan. Setelah 2 jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Ranu Pane. Pemandangan di sekelilingnya didominasi bukit hijau yang diselimuti kabut tipis.

Ranu Pane merupakan nama daerah dimana kendaraan bermotor terakhir kali melintas di kawasan Semeru. Terdapat Pos Pendakian terakhir yang dihuni manusia, warung makan dan beberapa rumah warga. Ada 2 danau disini yakni Ranu Pane yang besar dan Ranu Regulo yang agak kecil. Tapi seribu macam sayang, kondisi air di Ranu Pane waktu itu sedang tercemar tanaman eceng gondok yang berwarna coklat. Padahal bila tidak tercemar, pemandangan disini menjadi amat sempurna dengan lanskap pegunungannya.
Sekitar jam 5, rombongan Bandung itupun mulai start pendakian Semeru. Awalnya kami yang berniat melanjutkan hiking menuju Ranu Kumbolo baru berjalan beberapa ratus meter langsung mengurungkan niat itu. Kami sadar bahwa alam tak bisa ditebak dan tak bisa dilawan. Kondisi saat itupun sudah sedikit gelap. Kami pun lantas bergegas kembali menuju Ranu Pane dan memutuskan bermalam disana. Kami bermalam di sebuah Pondok Pendaki yang letaknya berada diatas bukit depan pos pendakian. Pondok Pendaki itu cukup luas, tapi jangan berharap ada listrik dan sinyal hp di pondok ini. Pondok itu dihuni oleh Pak Hambali, dari perawakannya ia berumur sekitar 40 tahun. Ia hidup seorang diri disini. Orangnya ramah, dan sekilas dari tatapan matanya yang tajam seakan memberi tahu bahwa Pak Hambali ini orang yang mempunyai kharisma tinggi.

Semakin malam, semakin menusuk hawa dingin di Ranu Pane. Apalagi saat itu sedang musim kemarau dimana suhu di gunung bila malam akan semakin dingin. Tapi kami semua dapat memaklumi karena faktanya kami memang berada pada ketinggian 2300 meter. Gua dan munir basicnya bukan pendaki gunung handal, beda halnya dengan Yugos dan Santo yang sudah berpengalaman. Sekitar pukul 10 malam, kami lantas membuat perapian sederhana sebatas untuk menghangatkan badan dan untuk memasak. Disitu kami juga berbincang-bincang dengan Pak Hambali. Gua cukup kaget karena Pak Hambali dahulu juga pecinta musik rock seperti Deep Purple, Led Zeppelin, Metallica, dan sebagainya. Dia juga memberi tahu tentang penghargaan-penghargaan yang ia dapat. Semua tanda penghargaan itu terpaku rapi di dinding dan seakan menunjukkan bahwa penghuni tempat ini bukan orang sembarangan.

Pondok ini biasa dipakai para pendaki untuk singgah. Dari hampir semua stasiun televisi juga pernah ke pondokan sederhana ini. Makanya gak salah kalo pondokan ini banyak sekali kenang-kenangan dari para pendaki berbeda provinsi dan negara yang eksis disini. Untuk info juga, kalo pondok ini juga biasa dipakai sebagai tempat evakuasi para pendaki yang meninggal saat pendakian Semeru. Menurut Pak Hambali, Sejak awal ia menempati tempat ini medio tahun 198oan, sudah ada ratusan jenazah yang dibawa kesini dengan aneka rupa bentuknya. Tapi jangan panik dulu, gua udah coba bermalam disitu dan hasilnya 90% aman.

Setelah ngobrol panjang lebar, makan mie dan ngopi beberapa bungkus sudah, kami memutuskan untuk beristirahat. Kami tidur di tempat tidur yang beralaskan kayu saja, jadi jangan harap pula ada kenyamanan lebih disini. Jam 2 malam tapi kami tidak bisa larut tidur walaupun sudah berulang kali mencoba memejamkan mata. Bukannya rasa kantuk yang datang, tetapi hawa dingin yang menusuk tulang mulai menyergap. Sayang, gua cuma membawa 1 jaket dan 1 sarung, tentunya sangat tidak cukup untuk melawan rasa dingin. Kami berempat memang tidak bisa tidur malam itu dan entah bagaimana caranya mencari cara agar ada sumber penghangatan. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari kulit kayu kering diluar agar bisa disulap menjadi perapian kecil. Saat keluar, hawa dingin terasa 2 kali lipat dari yang didalam pondok.

Setelah mendapatkan beberapa kulit kayu kering, kami langsung masuk ke dalam pondok dan langsung membuat perapian. Di sela-sela api itu menyala, gua coba buat meremin mata lagi. Sambil menahan rasa dingin, tiba-tiba nafas gua tersendat dan seperti setengah sadar. Kaki gua yang masih dapat bergerak pun langsung menendang Yugos supaya dia bisa sadarin gua. Dan alhamdulillah Yugos langsung membangunkan gua. Tapi entah apa itu namanya, yang pasti 2 kali gua mengalami itu beruntun.

Sekitar jam 4, kami baru bisa memejamkan mata.2 jam gua tidur, tepat jam 6 gua bangun dan melihat Munir dan Yugos udah ga ada ditempat, Cuma ada sleeping bag yang membungkus Santo didalamnya. Gua pun keluar untuk sekedar melihat-lihat pemandangan sekitar. Dan udah dapat gua tebak kalo lanskap pemandangan disini saat pagi itu indah banget. Melirik ke kanan terlihat dengan jelas puncak Semeru yang beberapa menit sekali mengeluarkan asap. Bila melirik ke kiri tepat dimana jurang yang bawahnya berbatasan langsung dengan danau Ranu Pane yang masih diselimuti kabut tipis khas pagi hari.

Tanpa harus berpikir panjang, gua langsung mengeluarkan kamera yang sedikit berembun itu dari tas. Pas gua pegang kamera, rasanya jadi dingin body kamera itu. Puas memotret, gua langsung menuju warung makan dibawah untuk sarapan dan menumpang mengecas batre kamera. Setelah Santo bangun dari tidurnya, kami berempat lantas menuju Ranu Regulo yang letaknya hanya beberapa ratus meter saja dari pondok.
Kondisi Ranu Pane saat itu sedang ramai-ramainya para pendaki karena tepat pada musim pendakian. Tak jarang kami bertegur sapa dengan mereka sekedar sedikit ingin tahu mereka datang darimana.

Sekitar jam 12 siang, kami memutuskan untuk bergegas pulang dari Ranu Pane. Dengan menumpang jeep yang ingin turun kebawah, kami hanya membayar sekitar 180 ribu saja mengingat jeep yang kami naiki ukurannya kecil. Jam 2, kami tiba di Tumpang dan disambut dengan cuaca yang cukup panas. Sungguh peralihan suhu yang tidak mengenakkan tentunya.

Setelah meninggalkan pengalaman di Ranu Pane, kami akhirnya berpisah di Kota Malang. Yugos dan Santo memilih untuk pulang ke Jakarta, sedangkan gua dan Munir langsung menuju kawasan Batu untuk meneruskan perjalanan.

Ranu Pane memang ibarat sebuah gerbang awal menuju keabadian Puncak Mahameru, puncak tertinggi di Pulau Jawa. 2 hari itu cukup memberi pengalaman besar dalam cerita perjalanan gua di tahun 2011 lalu.

Read More......