Postingan Populer

Rabu, 20 Oktober 2010

Asal Usul : Irama Kaum Elitis by Harry Roesli


ORANG awam saja tahu bahwa politik itu kepentingan, tidak lebih dari itu.
Jadi kalau kita berpegang pada pendapat di atas tadi, maka sebenarnya
perseteruan antara Amien Rais dan GusDur bukanlah masalah krusial. Coba saja
kita rangsang mereka ini dengan kepentingan yang sama dan sejalan. Sudah
pasti keduanya-tanpa reserve-kontan akan akrab kembali. Yakin!

Namun, di balik semua perbedaan tajam antara Gus Dur dan Amien Rais,
ada-paling tidak-satu persamaan yang tidak bisa dibantah, yaitu,
keduanya-sudah pasti-pernah menyanyi. Paling tidak mereka pernah menyanyi
lagu Indonesia Raya atau Happy Birthday. Tetapi, kalau menari mungkin Amien
atau Gus Dur belum pernah, apalagi melukis. Setahu saya Gus Dur tidak mahir
(maaf kalau salah). Tetapi, menyanyi, keduanya pasti pernah menyanyi.


Menyanyi, sebuah kata kerja yang sangat hebat, karena semua orang (kecuali
orang bisu) pasti pernah mengerjakannya. Menyanyi adalah sebuah ranting
kesenian yang termasuk dalam batang tubuh musik. Untuk itulah pekerjaan
menyanyi memerlukan pengenalan irama atau beat.

Bicara soal irama atau beat ini, biasanya berhubungan langsung dengan
impuls. Tepatnya irama menggelitik impuls dan memerintahkan motorik kita
untuk aktif. Gelitikan irama atau beat kendang dangdut menyebabkan orang
tergelitik untuk berjoged ala dangdut. Orang berdansa waltz karena
tergelitik irama 3/4 yang melenggak-lenggok. Anak muda berjingkrak-jingkrak
karena dinamisnya dentuman irama hip metal atau underground.

Akan tetapi, coba kita mainkan irama waltz di sebuah pesta dangdut. Saya
yakin para "dangdutters" akan terdiam dan mendapatkan kesulitan yang amat
sangat untuk bergoyang merespons irama atau beat 3/4 waltz tadi. Atau kita
paksakan irama hip metal dan underground dimainkan di pesta veteran
penggemar keroncong. Tentu kita harus tanggap untuk menyiapkan beberapa
ambulans dan tabung-tabung oksigen karena siapa tahu tiba-tiba para veteran
ini berjingkrak-jingkrak. Urusannya pasti rumah sakit, bukan? Jadi, kalau
bukan pada tempatnya yang pas, maka irama atau beat itu malahan bisa
berkonotasi negatif dan ... ditolak !!


***
PENOLAKAN ini, saat ini, menimpa pada nasib dua irama atau beat yang sedang
trend di Indonesia. Dua irama atau beat itu ialah, irama anti Gus Dur, dan
satu lagi ialah, irama pro Gus Dur. Sebagian elemen masyarakat memang
terangsang dan bisa dengan nikmat merespon irama anti-Gus Dur. Maka, menari
dan bergoyanglah mereka dengan serasi mengikuti irama anti-Gus Dur tadi,
berbondong-bondong berdemo.

Ketika terdengar kendang berbunyi membentuk irama lain, yaitu, irama pro Gus
Dur, maka sebagian elemen masyarakat lainnya ternyata lebih bisa terangsang
dengan irama ini. Dan berjogetlah mereka dengan serasi digelitiki irama pro
Gus Dur, sampai-sampai terbentuk barisan "true believers" yang berani mati,
plus tumbangnya pohon-pohon.

Celakanya, sebagian masyarakat lain yang juga cukup besar, ketika diajak
berjoget dengan kedua irama ini, mereka merasa tidak pas, tidak "tune in".
Seperti pedansa waltz 3/4 yang disuguhi irama dangdut, pasti jadi serba
kagok. Mereka diajak menari dengan irama anti-Gus Dur, tetapi kok mereka
merasa irama ini kurang enak untuk dipakai joget. Dan ketika irama pro Gus
Dur ditawarkan, kembali mereka diajak menari. Tetapi, kok, menurut mereka
irama ini pun sepertinya tidak enak juga untuk dipakai ber-"agogo". Serasa
seperti seorang penari break dance yang diiringi musik gamelan degung. Atau,
tepatnya, rasanya irama ini bukan irama yang biasa mereka pakai buat joget.
Irama ini buat mereka ... tidak nyaman !


***
APA sebenarnya yang membuat ketidaknyamanan tadi? Entahlah! Mungkin karena
iramanya penuh dengan rekayasa, bukan genuine beat! Biasanya irama rekayasa
seperti dangdut rock, jazz etnik, atau pop klasik, iramanya tidak masif
karena biasanya lebih diperuntukan guna apresiasi. Tetapi, genuine beat
semacam dangdut kampung, jazz negro, klasik tulen, pasti iramanya lebih
masif dan merangsang.

Juga, sepertinya kedua irama tadi terlalu direkayasa macam-macam, dengan
ditambahi irama pada bagian refrein, yaitu irama mogok nasional. Bahkan yang
lebih muskil lagi, irama ini pun direkayasa, dengan teknik syncope 1/32 yang
memakai terminologi agama. Itu kan sinting (maaf) namanya!? Walhasil,
kendati rekayasanya begitu menarik, tetapi karena bukan genuine beat, maka
rakyatpun hanya sekadar menonton, tidak tertarik untuk turun ber-"ajojing"
memenuhi lantai dansa.

Irama kaum elitis ini terlalu eksklusif. Irama ini tidak punya akar, harus
diubah. Sudah barang tentu, otomatis kaum elitisnya juga harus diubah.
Penggebuk drumnya harus diganti. Pemain keyboardnya harus dilengserkan.
Pemain gitarnya, idem dito. Penyanyinya? Cari yang muda-muda dan masih
segar, supaya bisa mencapai nada-nada tinggi dengan mulus dan tidak serak.
Diharapkan dengan personil muda bisalah kita mendengarkan lagu baru, bukan
lagu-lagu tua dari grup gaek status quo, atau bukan lagu yang sama-sama
terus.


***
BICARA soal lagu yang sama-sama terus, itu memang sebuah persamaan.
Sebenarnya persamaan yang hakiki antara manusia, adalah setiap manusia
mempunyai perbedaan, itu persamaannya. Jadi, seyogiyanyalah perbedaan itu
disikapi dengan konsep persamaan. Nah, kalau begitu apa sebenarnya persamaan
ke-empat tokoh, Amien, Gus Dur, Mega, dan Akbar? Kalau kita ibaratkan
keempat tokoh tadi adalah empat ban mobil, maka persamaan mereka ialah,
keempatnya adalah ban mobil yang sudah kempes! Yang segera harus diganti
dengan ban yang baru dan "muda" supaya mobilnya bisa berjalan lagi. Tetapi,
sebaiknya ban mobil yang baru dan "muda" ini bentuknya bulat, tidak lonjong
atau kotak, supaya mobil bisa nyaman jalannya, dan supaya kita tidak disebut
purba. Bentuk bulat atau lingkaran adalah yang membedakan budaya purba atau
bukan. Bukan begitu? ... Entahlah!!

Bandung, 6 April 2001

Kompas CyberMedia
Minggu, 8 April 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar