Postingan Populer

Selasa, 19 Oktober 2010

Asal Usul : Mengganggu Para Elite Politik by alm.Harry Roesli


SEPERTI kita ketahui, Bumi mengelilingi Matahari selama 365 hari
dengan kecepatan sekitar 900 juta km. Jadi per hari/24 jam Bumi
menempuh + 2,5 km, atau per menit 800 km, atau per detik 30 km.

Kalau saja tiba-tiba para elite politik kita lewat DPR, mencoba
mengamandemen dalil tadi. Misalnya dengan tekanan lewat lobi-lobi,
lewat demo bayaran, lewat kaukus-kaukus, lewat pansus-pansus, bahkan
lewat impeachment Bumi diharuskan mengelilingi matahari 10 X lipat
lebih cepat !! Boleh jadi para politikus ini tidak merasa terganggu,
malahan tambah bersemangat!!!

Akan tetapi, tanpa mereka sadari kecepatan Bumi per detik untuk
mengelilingi Matahari menjadi 300 km. Sehingga jarak tempuh Bumi
mengelilingi Matahari cukup 36,5 hari saja, tidak perlu 365 hari.
Artinya, satu tahun, kita hanya punya 36,5 hari saja. Artinya lagi,
sehari-semalam hanya 2,4 jam, atau 2 jam 12 menit, siang 1 jam 6
menit, malam 1 jam 6 menit. Sampai sini para elite politik belum
merasa terganggu!

Tapi pola tidur kita terganggu, hanya 1 jam 6 menit! Satpam/jaga malam
di PHK. Cucian, perlu 3 bulan untuk bisa kering. Pub atau klab malam
mati kutu, karena live music baru main 3 lagu harus buru-buru tutup,
sebab sudah adzan subuh. Hostes pun beralih profesi jadi tukang serabi
gejrot! Hanya saja untuk berpuasa cukup 1 jam 6 menit, berarti orang
durhaka-pun bisa tahan berpuasa. Sampai sini, para elite politik tidak
merasa ada gangguan malahan hanya tertawa-tawa geli.

Akan tetapi, waktu seorang elite partai baru saja jatuh tertidur
karena mendengarkan sidang, dan sudah harus bangun lagi, karena sidang
sudah selesai, barulah para elite ini terganggu: "Ini tidak benar!!
Masa baru saja saya tertidur untuk mencari ilham menginterupsi sidang,
eh, sudah harus bangun!! Bagaimana ini?" Mereka baru merasa terganggu
karena gangguan jarak Bumi-Matahari tadi.

Atau seperti cerita legenda Sangkuriang. Ketika eksekutif sedang
serius menyusun "gerendel" (catenaccio), untuk menangkis pansus,
tiba-tiba ayam berkokok sebelum "gerendel" selesai disusun, karena
gangguan jarak Bumi-Matahari tadi. Akhirnya sang Boss marah "gerendel"
pun ditendang, seperti Sangkuriang menendang perahu yang belum
selesai. Tapi kabarnya "gerendel" tadi bukan jadi gunung, tapi jadi
gerbang, yang terjemahan bebasnya dalam bahasa Inggris "Gate". Barulah
mereka terganggu.

Jadi, percuma saja rakyat berteriak-teriak, menyumpah serapah, mencaci
maki, memprotes keras, mengimbau, memberi solusi, menulis di koran,
membuat seminar, diskusi, talkshow, dan sebagainya, dengan maksud
mendapat perhatian para elite ini. Toh, tetap legislatif dan eksekutif
ini tenang-tenang saja terus bertikai, tanpa terganggu Sementara
rakyat hidupnya sudah amat sangat berat terganggu.. Mungkin mereka
harus dibuat terganggu dulu, baru mereka mau mendengar. Sayangnya kita
tidak bisa memohon bumi dan matahari menggangu mereka seperti di awal
tulisan ini. Jadi kita harus berbuat apa untuk mengganggu konflik
mereka yang semakin garang!!!?

***

KEGARANGAN mereka itu, disebabkan dulu (zaman Pak Harto) diharamkan
menjadi orang garang. Sedangkan sekarang kalau tidak garang itu tidak
elite namanya. Bahkan beberapa elite politik yang sekarang garangnya
minta ampun, mungkin dulunya berbisik pun dia tidak berani. Benar juga
kata Bapak Denis Goulet (1975, 66-82), manakala teknologi dan politik
menjadi segala-galanya bagi faktor penentu dalam mengambil keputusan,
maka kualitas-kualitas kemanusiaan seperti intuisi, empati, toleransi,
solidaritas, sosial, citarasa, objektivitas, menjadi marjinal
posisinya. Konyol sekali, coba Anda perhatikan! Dulu (zaman Orba),
pengamat politik saat itu bisa dihitung dengan jari, dan yang
statementnya obyektif bisa dihitung dengan sebelah tangan, sedang yang
lain statement ala kadarnya. Tapi pasca otoriterisme, bisa dikatakan
setiap RT punya dua orang pengamat politik. Dan, sah saja kalau
pendapatnya berbeda. Bahkan harus diusahakan berbeda, kalau tidak
berbeda, bukan pakar namanya.

Lahirlah ribuan statement bertebaran di media massa. Doktor, profesor,
memberi ribuan solusi untuk kemelut negeri ini. Pakar senior bersuara,
pakar baru pun lahir dengan teori-teori baru. Paradigma-paradigma baru
lahir, baik yang bernas ataupun tidak. Bahkan karena bingungnya saya
mencoba menyusun sebuah tulisan berjudul; "Membentuk wacana dengan
paradigma yang signifikan, guna membicarakan secara substansial krisis
multi dimensional yang krusial". Padahal saya tidak tahu apa itu
artinya paradigma, signifikan, krusial, substansial. Saya hanya senang
saja dengan kata-kata itu, senang menyebutnya, serasa pakar.

Pendek kata, seluruh pakar mencoba memberi sumbang saran. Gus Dur
harus begitu, Akbar harus begini, Amien jangan begitu, Mega sebaiknya
begini , Aceh harus dibeginikan, Irian harus dibegitukan, Ambon jangan
dibegitukan dan sebagainya. Ternyata berita yang nyata hanya.... Topan
dan Leysus dipecat oleh Pak Timbul.

Kondisi carut marut seperti ini, sebenarnya dibenarkan oleh tulisan
Bapak Valvac Havel, dalam judul buku The Post Communist Nightmare (
The New York review of books, 1993:8-10). Dia bilang, bahwa
keberhasilan gerakan prodemokrasi menumbangkan rezim totaliter
ternyata tidak selalu berarti jalan mulus bagi suatu rekonstruksi
sosial politik pada masa sesudahnya. Dia menambahkan, kondisi
masyarakat pasca revolusi selalu dipenuhi kontradiksi, ironi, dan
permasalahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Konflik etnis,
agama, faksi politik, dan tumbuhnya populisme berlebihan sebagai hasil
frustrasi berkepanjangan. Vavlac, penyair, dan kemudian menjadi
Presiden Cekoslovakia, adalah saksi mata jatuhnya rezim
totaliter-komunis di Eropa Timur.

Pertanyaannya, apakah pengalaman Vavlac Havel ini mau kita jadikan
pembenaran, "Tuh, negara orang lain juga gitu". Atau sebaliknya kita
jadikan pelajaran untuk tidak jadi "begitu". Ada satu orang lagi,
Miroslav, pekerja teater asal Bosnia, bercerita langsung kepada saya
bahwa sudah 10 tahun antara mereka bertikai. Dan saat ini mulai tampak
wajah senyum dari rekonsiliasi, tapi setelah 10 tahun negara ini
diobok-obok, dan sudah babak belur, carut marut, centang perentang,
hancur lebur. Mereka mulai berhenti bertikai, karena bosan. Dan karena
tidak ada lagi yang bisa dipertikaikan.

Lagi-lagi pertanyaannya: "Maukah kita menunggu delapan tahun lagi,
untuk terus bertikai, karena sekarang baru dua tahun ? Dan apakah kita
bisa seperti mereka, setelah 10 tahun lalu bosan bertikai?
Jangan-jangan kita tidak punya rasa bosan? Dan, jangan-jangan setelah
10 tahun, "kita" tidak ada lagi?"
 

Cerita di atas tadi, sengaja saya tulis untuk "mengganggu" para elite
politik kita. Tapi cerita tadi mungkin terlalu "permukaan", jadi saya
tidak tahu pasti akan hasilnya. Tapi yang jelas jika konflik
horizontal multi dimensi ini tidak ditangani, maka lagu "Dari Sabang
sampai Merauke" harus direvisi. Mungkin lirik awalnya diubah menjadi
"Dari Medan sampai ke Ambon...." Tetapi celaka kita, kalau satu saat
anak-anak kita menyanyikan lagu ini, dengan lirik: "Dari Merak sampai
ke Banyuwangi..."

Saya benar-benar serius ingin "mengganggu" para elite yang terhormat.
Makanya, siap-siaplah kalau lagu di atas direvisi lagi dengan lirik
awal. "Dari Daan Mogot sampai Taman Mini, menjajar warung-warung "
(Daan Mogot, daerah Jakarta Barat. Taman Mini, daerah Jakarta Timur)

Pak Elite menjawab: "Siapa takut !!" *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar