Postingan Populer

Jumat, 24 Desember 2010

Siapa Minta Pelicin Rp 100 Miliar? (3)



MUNCULNYA permintaan pelicin, menurut sumber Tempo, tak lepas dari kepentingan Bank Indonesia dalam sejumlah pembahasan rancangan undang-undang dan anggaran. Kondisi itu pernah terjadi enam tahun lalu dalam kasus Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI). Untuk memuluskan amendemen Undang-Undang Bank Indonesia dan menunda terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan, pejabat bank sentral terpancing memberikan uang pelicin kepada anggota Dewan.

Dana YPPI senilai Rp 100 miliar akhirnya dipakai untuk menyuap sejumlah anggota Dewan. Gara-gara kasus itu, mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah, Deputi Gubernur Aulia Pohan, dan pejabat lainnya, Maman Soemantri, masuk penjara. Kini, kata sumber Tempo, peristiwa yang mirip YPPI hampir terjadi lagi dalam kasus Agus-Hatta. "Apalagi, banyak orang tahu, posisi BI sekarang lemah dalam sejumlah pembahasan undang-undang," bisiknya.

Dalam anggaran tahunan, posisi Bank Indonesia terjepit gara-gara defisit anggarannya menembus Rp 20 triliun. Sialnya, sebagian anggota Dewan salah persepsi bahwa defisit anggaran besar menunjukkan kinerja Bank Indonesia buruk. Padahal defisit bank sentral biasa saja.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Mata Uang juga masih terkatung-katung. BI sangat berkepentingan dalam regulasi ini. Tapi posisinya kurang menguntungkan karena berbenturan dengan pemerintah dalam hal wewenang mencetak dan meneken uang kertas. Bank sentral ingin masalah uang kertas tetap menjadi wewenangnya, tapi pemerintah ingin terlibat. BI juga ingin redenominasi atau perampingan nominal rupiah diatur dalam rancangan undang-undang. "Tapi DPR dan pemerintah belum sepakat."

Setali tiga uang dengan Rancangan Undang-Undang Transfer Dana. BI, bisik sumber Tempo lainnya, tak sejalan dengan anggota Dewan. Kebon Sirih menginginkan hanya perbankan yang boleh melakukan transfer uang. Tapi Dewan akan mengizinkan lembaga lain, seperti Pegadaian atau Kantor Pos, melakukan transaksi itu. "Harusnya regulasi ini bisa diketuk tahun ini. Tapi sampai sekarang DPR belum mengambil keputusan," ujarnya. Bank Indonesia juga bisa kehilangan wewenang mengawasi transfer dana bila Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terbentuk.

Dalam pembahasan pembentukan OJK, posisi Bank Indonesia juga lemah. Anggota Dewan tak mengindahkan keinginan mereka agar lembaga pengawas perbankan itu tetap menjadi bagian dari bank sentral. Meski pembahasan OJK terhenti, posisi Bank Indonesia belum di atas angin. Kecuali, bisik sumber Tempo, jika mereka bisa mengamendemen Undang-Undang Bank Indonesia atas persetujuan DPR (lihat "Mentok di Pasal Komisioner").

Menurut sumber Tempo ini, tiga rancangan undang-undang dan anggaran tahunan sangat krusial bagi bank sentral. Tapi kurang kuatnya posisi BI membuat lembaga ini gampang dipermainkan. "Bisa jadi malah didagangkan oleh pihak-pihak tertentu," tuturnya. "Dan bukan mustahil kasus suap-menyuap itu terjadi lagi."

Namun Nusron menampik kemungkinan bakal berulangnya kasus suap-menyuap-semodel kasus YPPI-dalam penyusunan undang-undang, termasuk OJK. "Saya jamin tidak ada suap-menyuap," ujarnya.

Terlepas dari ada atau tidaknya rasuah, Komisi XI sudah kadung merasa dirugikan. Mereka merasa permintaan maaf Agus saja tak cukup. Komisi meminta jaminan dari BI bahwa kasus itu bukan bagian dari skenario bank sentral untuk merusak citra Dewan. Menurut Harry, permintaan Komisi ini untuk memperbaiki hubungan antarlembaga. "Mana yang benar dan salah itu urusan mereka (Agus dan Hatta), tapi yang penting jangan menuding Komisi," ujarnya.

Agoeng Wijaya, Febriana Firdaus, Iqbal Muhtarom, Padjar Iswara

sumber : http://www.tempointeraktif.com/khusus/selusur/pelicin.dpr/page03.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar