Pers mahasiswa(Persma) adalah entitas penerbitan mahasiswa yang ada di kampus perguruan tinggi yang dikelola oleh mahasiswa. Pers mahasiswa di Indonesia sangat penting peranannya dalam gerakan sosial dan gerakan demokrasi.
Ada beberapa terminologi terkait pers mahasiswa ini. Pers kampus dan pers mahasiswa. Namun terminologi yang banyak dipakai adalah pers mahasiswa. Pers mahasiswa adalah penerbitan pers (dalam bentuk majalah, tabloid, newsletter, atau media online) yang benar-benar dikelola oleh mahasiswa. Seluruh proses mulai dari mencari berita (informasi), penulisan, tata letak, pra-cetak dan distribusi dilakukan oleh mahasiswa. Selama ini pers mahasiswa di Indonesia identik dengan pemantik perubahan sosial politik yang bekerja di balik layar.
Semi profesional
Pers mahasiswa (persma) bukan lembaga profesional, sehingga mau tidak mau persma paling tinggi berada dalam tahapan semi profesional. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu. Di antaranya, karena para pengelolanya sendiri --yaitu mahasiswa-- disibukkan dengan perkuliahan. Tidak ada space waktu khusus, yang kemudian menjamin pengelolaan yang profesional, apalagi persma tidak menggaji para anggota atau pengurusnya.
Lalu, sebagai organisasi kemahasiswaan, persma juga lazimnya sebuah organisasi kampus, memakai pola kaderisasi, yakni tidak ada ketetapan dalam sebuah kerangka kepengurusan. Apalagi, program kerjanya selalu berubah-ubah setiap kali berganti kepengurusan. Ditambah dengan masa periode kepengurusan yang umumnya hanya berlangsung satu tahun.
Jadi, mau ngapain dalam waktu satu tahun? Belum lagi direcoki oleh masalah dana. Kalau bergantung pada dana kemahasiswaan dari rektorat yang cenderung tidak memenuhi kebutuhan yang ada, maka jangan berharap sebuah persma benar-benar memenuhi hasrat masyarakatnya, khususnya masyarakat kampus sebagai penyuguh informasi.
Namun, persma tetaplah persma yang akan tetap hidup. Jika masih ada kemauan untuk hidup, terutama dari para pengelolanya yang sadar bahwa persma sangatlah penting untuk ada, maka persma bukan hanya jadi salah satu pilar demokrasi di kampus, tetapi juga sebagai lembaga pembinaan kreativitas dan penyaluran bakat serta hasrat berorganiasi, terutama dalam bidang jurnalistik. Keluhan-keluhan di atas, adalah hal umum yang sebenarnya selalu hendak dipecahkan.
Mencari formula yang tepat
Jika persma terus bergelut dalam masalah, artinya sama saja dengan kita mempermasalahkan sebuah masalah. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang senior, "Sudah saatnya jika persma mencari format yang lain, tidak terpaku pada sejarah dan tidak kaku pada sebuah label!"
Persma sebagai pers pergerakan, biasanya selalu dimaknai menjadi bagian dari pergerakan mahasiswa dalam konteks mengritik penguasa yang lalai dan melakukan kesalahan, baik dalam tataran kampus maupun luar (nasional). Itu memang sebuah fungsi yang sesuai paradigma, bahwa mahasiswa adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai fungsi sebagai agen atau pelaku perubahan.
Lantas, bagaimana dengan kondisi saat ini? Apakah masih perlu persma bergelut dalam wilayah pergerakan. Jawabannya tentu saja perlu. Pergerakan tentu tidak akan mati, kecuali jika dunia ini kiamat. Lalu, di manakah posisi persma dalam konteks pergerakan mahasiswa? Posisi yang bergerak dilapangan atau? Sebagaimana fungsi dasar pers, persma pun pada konteks ini harus mengambil posisi kontrol sosial. Artinya, ia bisa sebagai pengawas, penghembus nafas-nafas pergerakan bila mahasiswa sedang tidak bergairah. Bisa juga menjadi pelaku pergerakan langsung melalui bangunan wacana dan pemberitaannya. Persma sebagai pers pergerakan pada intinya masih dibutuhkan.
Bagaimana persma sebagai pers alternatif? Seiring dengan banyak masuknya pers umum ke wilayah kampus, seperti yang dilakukan Pikiran Rakyat dengan suplemen kampusnya, banyak keluhan dari rekan-rekan persma yang ada. "Lho, kok ruang kita digarap juga? Mungkin keluhan itu tidak tepat dilontarkan, jika kita tetap memahami bahwa persma tetap memiliki ruang khusus yang tetap menjaga identitasnya dan kealternatifannya, karena persma sendirilah yang sebenarnya lebih tahu isi perut kampusnya sendiri.
Jadi, penulis pikir masuknya pers umum ke wilayah kampus, itu bukanlah menjadi permasalahan yang akan mengebiri ruang gerak persma. Apalagi jika dikaitkan dengan kekhasan dan kedekatan persma, baik dalam pemberitaanya maupun dalam pergaulannya dengan sesama mahasiswa. Mahasiswa dan juga masyarakat, pada dasarnya masih mengharapkan pers-pers alternatif, sejenis persma dengan sudut pandang khas mahasiswanya yang berani, kritis, dan berbalutkan keilmuan. Tinggal bagaimana persma itu sendiri mengoptimalkan peran kealternatifannya tersebut.
Persma sebagai pers akademis? Ini berarti persma berkonsentrasi dalam wilayah dasarnya. Maksudnya, persma yang bergerak di wilayah akademik mengedepankan hal-hal yang berbau akademik, baik dari pemberitaannya maupun ruang kajiannya. Posisi ini sangat dibutuhkan sebagai sarana transfer pengetahuan dan sekaligus menjadi ruang tambahan bagi mahasiswa untuk membahas dan mengkaji keilmuan, selain ruang perkuliahan formal.
Masalahnya sekarang, persma mau memosisikan sebagai apa? Apakah pers pergerakan, pers alternatif, atau akademis? Jawaban idealnya tentu saja menggabungkan semuanya, mengkomparasikannya menjadi satu bentuk yang menarik.
Ketika persma hendak memosisikan diri, hendaknya memang menyesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya, ketika yang dibutuhkan (oleh masyarakatnya) adalah lebih banyak pergerakan, maka porsi pergerakan menjadi fokus utamanya. Begitu pula bila mahasiswanya lebih menghendaki akademis, maka hal yang bersifat akademis di kedepankan. Inilah yang harus diperhatikan. Pengelolanya harus menyadari bahwa persma tidak berdiri sendiri dan persma juga bukan pers umum yang bisa menentukan arahannya sendiri. Persma berbeda, karena memiliki ruang khusus yaitu dunia kampus dan wilayah kampus, dan ini adalah titik fokus yang harus diperhatikan, baik dari aspek kebutuhannya maupun ruang geraknya. Namanya juga pers-nya mahasiswa!
Persma yang menghibur
Tidak bisa dimungkiri, bahwa dominan mahasiswa saat ini lebih membutuhkan hal-hal yang berbau hiburan atau entertainment. Hal ini bisa dibuktikan misalnya di kampus penulis, ketika ada acara berbau ilmiah atau pergerakan seperti aksi demonstrasi, mahasiswa cenderung tidak tertarik. Namun, ketika ada acara hiburan dan dinilai lebih rileks, seperti acara musik, tanpa dikomando ataupun diprovokasi mahasiswa langsung merespons dengan meriah.
Ini wajar, mengingat mahasiswa saat ini sudah terlalu disibukan dengan padatnya jam perkuliahan ditambah lab ataupun tugas-tugas perkuliahan, sehingga ia butuh ruang relaksasi. Ia pun butuh me-refresh otak dan kepenatannya.
Paradigma yang menyatakan, bahwa persma harus berorientasi pergerakan dalam arti lain kritis dan keras (bukan kasar), adalah turunan dari suatu iklim yang lalu, terutama masa reformasi 1998. Ketika itu, nuansa pergerakan mahasiwa masih sangat kental. Kondisi ini terbawa sampai hari ini, umumnya bukan menjadi suatu kondisi namun menjadi suatu kultur yang seakan sulit diubah. Padahal kondisi sudah berkata lain. Mahasiswa saat ini juga menghendaki persma menyuguhkan berita atau tulisan yang lebih santai dan menghibur, tidak melulu hal-hal yang selalu berbau pergerakan ataupun politik.
Saya sepaham dengan wacana Kampus ("Mau ke Mana Persma? /Perang Dingin" Gaya Hidup & Politik), bahwa persma adalah pers yang dikelola oleh mahasiswa, namun tidak ada batasan arah atau kemasan yang dibawa; mau hiburan, pergerakan ataupun akademis. Ketika masih dikelola mahasiswa, ia layak menyandang predikat sebagai persma.
Apakah semudah itu persma harus mengikuti kemauan mahasiswa, mengubah kultur pergerakan yang telanjur melekat pada indentitas persma itu sendiri? Jawabannya, tentu saja persma harus memfasilitasi kebutuhan mahasiswa, termasuk dalam hal hiburan, dengan tentunya mempunyai landasan dasar sebagai mana fungsi pers, yakni memberikan informasi, pendidikan, kontrol sosial dan hiburan.
Majulah persma Indonesia!***
(Dimuat : Mimbar Akademik/Kampus /Pikiran Rakyat/22 Juni 2006)
sumber : id.wikipedia.org
http://deniborin.multiply.com/reviews/item/9
Postingan Populer
-
Dari berbagai sumber Senin, 10 September 1984. Seorang oknum ABRI, Sersan Satu Hermanu, mendatangi mushala As-Sa'adah untuk menyita p...
-
Pers merupakan salah satu garda demokrasi. Tingkat demokratisasi suatu bangsa dapat diukur dari kebebasan pers yang dianut sistem sosial k...
-
Masih dalam suasana dirgahayu kota Jakarta yang ke-484, saya ingin memposting mengenai kesenian Lenong Betawi. Kesenian ini mampu bertahan ...
-
Ini adalah daftar video musik yang disensor baik oleh MTV, MTV2, VH1, CMT, BET, Q TV, Juice TV, Fuse, The Box, C4 atau MuchMusic . Termasu...
-
Solo yang dikenal sebagai salah satu kota budaya dan juga sebagai salah satu kota yang sejak dulu menjadi barometer scene underground tanah...
Sabtu, 11 Desember 2010
Pers Mahasiswa Antara Pergerakan dan Hiburan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar