Jakarta - Euforia masyarakat Indonesia dan Malaysia yang menyokong tim kesayangannya untuk memenangkan pertarungan final piala Suzuki AAF sangat terasa. Tidak hanya murni olahraga, dalam sejarah dunia, sepakbola juga mendorong hadirnya revolusi sosial di berbagai negara.
Dalam catatan sejarah, menurut sosiolog UI, Musni Umar, Che Guevara, pernah berkata bahwa sepakbola bukan sekedar permainan sederhana. Sepakbola adalah senjata revolusi. Itu sebabnya masyarakat dunia, atas nama "sepakbola" melakukan apa saja, karena dia bisa menjadi alat untuk revolusi, arena untuk memompa rasa nasionalisme.
"Juga melalui sepakbola, dijadikan arena berjudi, arena bisnis skala besar dan skala kecil," kata Musni kepada detikcom, Jumat, (24/12/2010)..
Masyarakat Jerman sebagai contoh, yang mentalnya hancur akibat perang dunia II, akhirnya bisa menemukan kembali bentuk dirinya setelah negara itu meraih juara dunia ketika mengalahkan Hongaria 3-2 di Swiss tahun 1954.
Amerika Serikat yang mendapat kecaman internasional akibat perang Teluk, kembali mendapat kepercayaan internasioanl setelah menggelar Piala Dunia 1994. "Begitu pula negara lain di dunia berebut menjadi penyelenggara piala dunia, dan mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh sebagai tuan rumah untuk menjadi juara," tutur Musni.
Hal serupa juga terjadi dengan Indonesia dan Malaysia.
"Saya kebetulan berada di Malaysia, ketika tim kesayangan sepakbola mereka memenangkan pertarungan melawan Vietnam. Seluruh lapisan masyarakat Malaysia didukung para pejabat dan media, mengelu-elukan kemenangan itu, karena memastikan diri maju ke laga final," terang Musni.
Walaupun timnya kalah telak 1-5 ketika bertanding melawan Indonesia, tetapi masyarakat Malaysia yang mayoritas menyukai sepakbola, merasa yakin timnya yang akan bermain di kandang sendiri stadion Bukit Jalil akan menang. Hal yang sama dirasakan masyarakat Indonesia yang memenangkan seluruh pertandingan dari babak penyisihan sampai semi final.
"Kemenangan itu, semakin mendorong para pencinta sepakbola di Indonesia ingin menyaksikan tim kesayangannya meraih kemenangan yang selama bertahun-tahun tidak pernah menjadi juara," tambah Musni.
Namun, euforia kedua bangsa ini hendaknya menjunjung sportifitas agar tetap menjaga persahabatan dan persaudaraan. Pertama, masyarakat kedua negara terutama para penonton harus mengendalikan emosi. Akal sehat harus selalu didahulukan. Kedua, simbol-simbol negara Indonesia dan Malaysia harus dihormati. Tidak boleh salah satu merendahkan apalagi menghinakannya.
Ketiga, wasit yang memimpin pertandingan harus obyektif, jujur dan adil. Keempat, para pendukung tidak boleh memprovokasi pihak lain, karena bisa menimbulkan reaksi balik yang memancingkan emosi. "Kelima, para suporter harus menyadari bahwa dalam suatu pertandingan final, pasti ada yang menang dan kalah. Yang kalah harus legowo (bisa menerima), dan yang menang sebaiknya tidak mentang-mentang, apalagi sombong dan lupa diri," tutup Musni. ( asp / mad )
sumber : detiknews
Postingan Populer
-
Dari berbagai sumber Senin, 10 September 1984. Seorang oknum ABRI, Sersan Satu Hermanu, mendatangi mushala As-Sa'adah untuk menyita p...
-
Pers merupakan salah satu garda demokrasi. Tingkat demokratisasi suatu bangsa dapat diukur dari kebebasan pers yang dianut sistem sosial k...
-
Masih dalam suasana dirgahayu kota Jakarta yang ke-484, saya ingin memposting mengenai kesenian Lenong Betawi. Kesenian ini mampu bertahan ...
-
Ini adalah daftar video musik yang disensor baik oleh MTV, MTV2, VH1, CMT, BET, Q TV, Juice TV, Fuse, The Box, C4 atau MuchMusic . Termasu...
-
Solo yang dikenal sebagai salah satu kota budaya dan juga sebagai salah satu kota yang sejak dulu menjadi barometer scene underground tanah...
Jumat, 24 Desember 2010
Sepakbola dan Revolusi Sosial
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar