Postingan Populer

Jumat, 24 Desember 2010

Siapa Minta Pelicin Rp 100 Miliar? (2)



KAMIS siang, 21 Oktober. Agus Santoso bergegas menuju ruangan nomor 19 di pojok lantai 20 Gedung Nusantara I, kompleks DPR Senayan. Saat itu Agus usai menjadi pembicara mewakili Deputi Gubernur Budi Rochadi dalam seminar mata uang yang diselenggarakan Partai Amanat Nasional, di ruang rapat fraksi di gedung dan lantai yang sama.

Menurut sumber Tempo, Agus hendak menemui Muhammad Hatta, anggota Komisi XI dari Fraksi Amanat Nasional. Hatta mengundang Agus mampir ke ruang kerjanya. Kebetulan Agus juga ingin berkenalan dengan politikus yang baru duduk di parlemen pada Mei lalu itu, menggantikan anggota Dewan Marwoto yang meninggal pada Januari lalu.

Di dalam ruangan, menurut si sumber, sudah ada lelaki bersorban duduk di ruang kerja Hatta. Lelaki itu bernama Ustad Rahmat Syukur dari Pesantren Al-Islam Solo, Jawa Tengah. "Saat itulah Hatta menyampaikan niatnya," bisiknya. Hatta, sumber ini menuturkan, meminta uang Rp 100 miliar. Fulus itu untuk biaya pembahasan rancangan undang-undang dan kepentingan Kebon Sirih-sebutan Bank Indonesia. Duit yang diminta Hatta masing-masing Rp 25 miliar untuk Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, Rancangan Undang-Undang Mata Uang, Rancangan Undang-Undang Transfer Dana, dan Anggaran Tahunan Bank Indonesia.

Agus kaget. Menurut sumber tadi, Agus bertanya kepada Hatta dari mana Bank Indonesia bisa memperoleh duit sebanyak itu. Hatta tak hilang akal. Disebutlah proyek pengadaan teknologi informasi yang kini sedang diperjuangkan bank sentral. Proyek ini ada dalam rencana anggaran tahunan Bank Indonesia 2011. Jika jatah Rp 100 miliar disetujui, tak sulit memasukkannya menjadi bagian anggaran.

Ketua serikat karyawan Bank Indonesia itu menolak. Agus, kata si sumber, mengadukan ulah Hatta kepada Ustad Rahmat, yang selama pertemuan duduk diam di sebelahnya. "Pak Ustad malah bilang, itu dibolehkan karena bisa dianggap sebagai harta pampasan perang," kata sumber Tempo tadi menirukan cerita Agus. Hingga akhir pertemuan, Agus tak meladeni permintaan Hatta. Ia pamit pulang meninggalkan Hatta dan ustadnya.

Rupanya, Agus tak menyimpan kisahnya sendiri. Dia menceritakan pengalamannya dimintai duit itu ke sejumlah orang. Salah satunya ke Yunus Husein. Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan itu membenarkannya. Bulan lalu, kata Yunus, Agus menemui dirinya dan mengeluh lantaran dimintai duit oleh Hatta. "Informasi ini saya teruskan ke Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Yunus kepada Setri Yasra dari Tempo pekan lalu.

Ketua KPK Hayono Umar telah mengetahui kasus Agus-Hatta yang sudah ramai di media massa. Tapi sejauh ini lembaga antikorupsi belum menerima laporan resmi dari Agus atau Bank Indonesia. Jika ada laporan resmi, katanya, "Menarik juga didalami."

Agus menolak berkomentar ketika Tempo meminta konfirmasi. "No comment deh," ujarnya. Sedangkan Hatta membantah semua tudingan. Hatta punya versi lain. Dalam seminar, Hatta menggantikan rekannya dari Fraksi Partai Amanat Nasional Laurens Bahang Dama menjadi pembicara. Dia mengaku baru pertama kali bertemu dengan Agus dalam acara itu. Menurut Hatta, justru Agus yang membuntutinya ke ruang kerja usai seminar. "Katanya ingin kenalan," ujarnya. Ia bersumpah tak ada satu kalimat pun meminta duit kepada Agus, apalagi hingga Rp 100 miliar. "Saya ini orang baru, logikanya di mana. Ustad saya saksinya."

Ustad Rahmat Syukur kepada Tempo mengakui bahwa dirinya memang berada di dalam ruang kerja Hatta tatkala Agus datang. "Saya sudah di dalam ruang Hatta lebih dulu," katanya. Tapi, selama pertemuan, Rahmat mengaku sama sekali tak mendengar obrolan tentang duit apalagi upaya Hatta memeras Agus. "Yang ada, Agus curhat mengenai Bank Indonesia."

Hatta yakin, ada skenario Bank Indonesia di balik pengakuan Agus. Dia menduga, Bank Indonesia kesal kepada Partai Amanat Nasional yang akhir-akhir ini keras, terutama terhadap anggaran. "Saya siap kalau masalah ini dilanjutkan ke proses hukum," katanya (lihat wawancara Hatta, "Ada Skenario Bank Indonesia").

sumber : http://www.tempointeraktif.com/khusus/selusur/pelicin.dpr/page02.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar