Postingan Populer

Sabtu, 27 November 2010

Jalan Politik Sutan Sjahrir



Sutan Sjahrir Perdana Menteri Pertama Indonesia, telah menorehkan tintas emas perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Ia lahir di Padangpanjang Sumatera Barat 5 Maret 1909, dan meninggal dunia pada usia 57 tahun setelah dirawat sekian lama akibat sakit yang dideritanya. Sutan Sjahrir bukan saja sebagai founding father bersama Soekarno dan Mohamad Hatta, tetapi juga meletakan pemikiran politik yang berlandaskan gagasan anti kolonialisme, anti fasisme, dan anti feodalisme.

Berangkat dari gagasan itu, Sutan Sjahrir sangat menitikberatkan pada upaya-upaya melakukan pendidikan untuk rakyat. Kolonialisme bisa bertahan lama di bumi pertiwi, karena kemiskinan dan kebodohan membuatnya semakin terperdaya. Sepulangnya dari studi di Belanda tahun 1931, Sutan Sjahrir langsung bergulat dengan dunia pergerakan, dan bersama Bung Hatta mendirikan PNI Baru (Pendidikan Nasional Indonesia).

Sutan Sjahrir memimpin PNI Baru organisasi yang menghimpun kaum pergerakan nasional. PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusioner kemerdekaan nasional. Ketakutan akan potensi revolusioner PNI Baru, medio Februari 1934 pemerintah kolonial Belanda menangkap dan memenjarakan Sjahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digul Papua selama setahun. Mereka lalu dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.

Pada bulan maret ini, Bung Kecil sebutan bagi Sutan Sjahrir genap sembilan puluh sembilan tahun peringatan hari kelahirannya. Menurut A. Rahman Tolleng tokoh aktivis 66, walaupun memiliki postur tubuh relatif pendek, tetapi Bung Kecil telah melahirkan raksasa-raksasa intelektual. Sebut saja misalnya, Prof. Sarbini Soemawinata, Soebadio Sastrosatomo, Prof. Soemitro Djodjohadikusumo, dan Dr. Sudjatmoko yang menjadi sumber inspirasi kaum cendekia dan para aktor politik.

Tentunya, memperingati kelahiran Sutan Sjahrir bukan untuk membalikan jarum jam sejarah, apalagi pengkultusan individu. Yang lebih penting dapat menjadi media refleksi dan koreksi atas ingatan kolektif masyarakat dewasa ini. Membaca pikiran dan perjuangan Sutan sjahrir dan founding father lainnya, harus membuka kesadaran betapa kemerdekaan yang dinikmati hari ini sesungguhnya atas perjuangan dan pengorbanan jiwa raga, bukan diperoleh dengan cuma-cuma.

Pandangan Politik

Sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari suasana pasca Perang Dunia (PD) II. Perang dingin antara blok timur yang dimotori Uni Sovyet-Rusia dan blok barat Amerika Serikat dengan sekutunya telah mempengaruhi dinamika politik nasional. Sutan Sjahrir dan Tan Malaka, sejak semula melakukan gerakan bawah tanah non-kooperatif terhadap Jepang yang saat itu menduduki wilayah Hindia Belanda. Sementara jalan yang ditempuh Soekarno-Hatta bekerjasama dengan Jepang dalam meraih kemerdekaan nasional.

Pada titik ini, timbul perbedaan pandangan mensikapi momentum proklamasi kemerdekaan. Pandangan kelompok Sjahrir, kekalahan Jepang kubu fasis oleh sekutu berdampak bahwa kemerdekaan hasil pemberian Jepang akan dianggap pemerintahan Indonesia sebagai kolaborator fasisme Jepang. Dan, sangat memalukan jika Soekarno-Hatta sebagai pemimpin pemerintahan yang baru merdeka kemudian diadili oleh Mahkamah Internasional. Oleh karenanya, muncul peristiwa Rengasdengklok mendorong proklamasi 17 Agustus 1945 yang menunjukan kemerdekaan nasional bukan janji yang diberikan Jepang, tetapi hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia.

Pada fase selanjutnya, dengan kekuatan diplomasi Sutan Sjahrir membawa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sutan Sjahrir menyadari sebuah negara baru merdeka, dan berada ditengah arus dua kutub politik yang sedang bersaing. Hanya kecerdasan dan kecerdikan membaca situasi politik, membuat posisi Indonesia tidak mudah terperangkap dalam pusaran konflik perang dingin, dan ancaman kembalinya kolonialisme Belanda.

Didepan sidang Dewan Kemanan PBB tanggal 14 Agustus 1947 Sutan Sjahrir menyampaikan pandangan politik. Ia mengupas Indonesia sebagai sebuah bangsa yang memiliki budaya dan peradaban lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, pada forum itu secara cerdas Bung Sjahrir juga mematahkan argumen-argumen yang disampaikan wakil Belanda, Van Kleffens. Melalui jalan politik diplomasi ini, akhirnya Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah negara berdaulat dan bermartabat di pentas internasional.

Pikiran Sjahrir

Jalan Politik yang diambil Sutan Sjahrir, sesungguhnya dilatarbelakangi oleh jiwa patriotik dan pemikirannya yang menjunjung tinggi persamaan derajat setiap manusia. Sutan Sjahrir dengan tegas menolak segala bentuk totalitarianisme. Baik totalitarianisme kanan dalam bentuk fasisme, maupun komunisme sebagai wujud totalitarianisme kiri. Keduanya mengekang kebebasan perorangan yang membuat manusia tidak lebih dari budak kekuasaan semata.

Menurut Sutan Sjahrir nasionalime harus berpijak pada demokrasi, karena nasionalisme bisa tergelincir pada fasisme jika bersekutu dengan feodalisme lokal. Nasionalisme juga bisa menjadi chauvinistik dalam hubungan internasional, jika tidak dilandasi pemikiran humanistik (kemanusiaan). Hal ini yang dialami oleh Hitller dan Musolini yang kemudian menimbulkan Perang Dunia kedua
Penegasan Sutan Sjahrir akan jalan demokrasi dan penentangan terhadap segala bentuk totalitarianisme, ia mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Sosialisme yang dimaksudnya adalah sosialisme berdasarkan kerakyatan yang mengakui kemerdekaan setiap orang untuk berpikir dan bertindak sesuai keyakinannya. Sutan Sjahrir menekankan secara jelas tujuan dan strategi kaum sosialis berbeda dengan kaum komunis. Diktator Proletar sebagai sebuah tahapan revolusi bagi kaum komunis, buat kaum sosialis merupakan bentuk kediktatoran yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi.

Partai Sosialis Indonesia, akhirnya bersama Partai Masyumi dibubarkan oleh pemerintahan Soekarno dengan alasan yang tidak cukup jelas. Partai berbasis kader ini, walaupun dalam Pemilu 1955 mengalami kekalahan, tetapi berhasil mencetak kader-kader tangguh. Sutan Sjahrir berhasil membuka jalan demokrasi, dan memberi pelajaran etika berpolitik yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia.

Andai saja Sutan Sjahrir seorang yang haus kekuasaan, maka dengan segala potensi ia bisa meraih dan mempertahankannya. Namun, Bung Sjahrir meyakini politik tidak semata diartikan tindakan merebut dan mempertahankan kekuasaan an-sich. Politik bukan machtsvorming dan machtsaanwending, tapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya, karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai. Jadi, politik harus dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji dengan kriteria moral.

Sutan Sjahrir-pun seorang anak bangsa yang telah memberi arti banyak bagi tegaknya republik, diakhir hayatnya lebih memilih jalan sunyi. Mohamad Hatta pernah berkata, ?Ia (Sjahrir) berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan untuk Indonesia merdeka, ikut membina Indonesia merdeka, tapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka, ia lebih banyak menderita di dalam Republik Indonesia yang ia cintai, daripada di dalam Hindia Belanda kolonial yang ditentangnya?.

Bung, damai selalu dalam tidur panjang bersamaNya doa kami menyertaimu !

Penulis, BUDIANA IRMAWAN

Ketua Jaringan Kerja Solidaritas Kerakyatan (Jakasoka)


sumber : http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/03/myposting_10850.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar