Postingan Populer

Jumat, 12 November 2010

Energi Indonesia Dikuasai Asing



Begitu memilukan melihat realitas kondisi masyarakat Indonesia kini. Beban hidup terasa semakin berat bagi kebanyakan rakyat. Kebijakan demi kebijakan yang dilakukan penguasa menjadikan rakyat semakin melarat. Rakyat seolah tidak boleh istirahat sebentar saja untuk tidak dihimpit berbagai beban kehidupan tersebut.

Belum selesai dan hantaman badai kenaikan harga BBM, Pemerintah kemudian menaikkan harga bahan bakar lain seperti gas. Pemerintah sebelumnya berjanji tidak akan menaikkan harga gas. Namun, kini gas dengari volume 12 kg dicabut subsidinya oleh Pemerintah. Waihasil, harganya pun melambung tinggi. ICenaikan harga yang ada hanya meliputi kenaikan ongkos distribusi dan kelengkapannya, belum termasuk komponen harga gas sendiri yang sudah naik di tingkat internasional. OIeh karena itu, bisa jadi kenaikan harga gas jilid kedua tidak akan lama lagi.
Belum reda masalah BBM dan gas, kini berbagai wilayah di Indonesia kembali mengalami pemadaman listrik secara bergilir. Efek buruknya semakin serius. Di Jawa Tengah, jika kondisi demikian berkepanjangan, pemadaman listrik yang tidak terjadwal itu bisa membuat banyak pengusaha gulung tikar. Bagi industri tekstil, pemadaman listrik bergilir yang tidak terjadwal sangat merugikan. Dalam sehari, mereka bisa kehilangan puluhan hingga ratusan juta rupiah karena proses produksi terhenti tiba-tiba. (Kompas, 6/7/2008).

Ratusan buruh tekstil menyerbu kantor PLN Kota Pekalongan, Kamis pagi (3/7), lantaran terancam PHK (pemutusan hubungan kerja) oleh perusahaan, menyusul seringnya dilakukan pemadaman listrik oleh PLN di wilaya h Ka bupaten/Kota Pekalonga n (www.wawasandipital.com). Pa ra peng usa ha Jepa ng—yang tela h menanamkan investasinya lebih dan 40 miliar dolar AS di lndonesia—bahkan akan mengancam hengkang dan Indonesia jika permasalahan Iistrik mi tak kunjung usai. (“Kabar Petang”, TI/One, 7/7/08).

Kebijakan yang Salah
Membumbungnya harga BBM dan gas di Indonesia, jika ditelusuri Iebih dalam, adalah akibat amburadulnya kebijakan energi primer (BBM dan Gas) dan sekunder (PLN) di Indonesia.
Problem kelangkaan BBM, menurut Bapak Sodik (SP Pertamina), diakibatkan oleh rusaknya sistem yang digunakan Pemerintah. Ujungnya adalah diterapkannya UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang sangat liberal. Pemenintah, melalui UU mi, lepas tanggung jawab dalam pengelolaan Migas. Dalam UU mi: (1) Pemenintah membuka peluang pengelolaan Migas karena BUMN Migas Nasional diprivatisasi; (2) Pemerintah memberikan kewenangan kepada perusahaan asing maupun domestik untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak; (3) Perusahaan asing dan domestik dibiarkan menetapkan harga sendiri. Sungguh aneh!
Di Indonesia ada 60 kontraktor Migas yang terkategori ke dalam 3 kelompok: (1) Super Major: terdiri dan
ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco yang menguasai cadangan minyak ‘70% dan gas 80%
Indonesia; (2) Major; terdiri dan Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex yang
menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%; (3) Perusahaan independen; menguasai cadangan minyak 12%
dan gas 5%.

Walhasil, kita bisa melihat bahwa minyak dan gas bumi kita hampir 90% telah dikuasai oleh asing. Mereka semua adalah perusahaan multinasional asing dan berwatak kapitalis tulen. Wajarjika negeni yang berlimpah-ruah dengan minyak dan gas mi ‘meradang’ tatkala harga minyak mentah dan gas dunia naik. Semuanya dijual keluar negeri oleh perusahaan-penusahaan asing tersebut.
Padahal dalam jantung Bumi Pertiwi Indonesia terdapat sekitar 60 cekungan minyak dan gas bumi (basin); baru 38 di antaranya yang telah dieksplorasi. Dalam cekungan tersebut terdapat sumberdaya (resources) sebanyak
77 miliar barel minyak dan 332 tniliun kaki kubik (TCF) gas; potensi cadangannya sebanyak 9,67 miliar barel minyak dan 156,92 TCF gas. Semua itu baru dieksplorasi hingga tahun 2000 sebesar 0,46 miliar barel minyak dan 2,6 triliun TCF gas. Karena itu, jika menilik angka volume dan kapasitas BBM, tegas Bapak Sodik (SP Pertamina), sebenarnya Indonesia mampu mencukupi kebutuhan rakyat di dalam negeni.

Namun, permasalahannya adalah liberalisasi sektor Migas yang membebaskan sebebas-bebasnya asing mengeruk kekayaan minyak dan gas Indonesia, yakni melalui UU 22/2001 tentang Migas. UU mi justru memberikan hak/kewenangan kepada perusahaan swasta nasional maupun swasta asing yang notabene bukan untuk kepentingan rakyat.
Dalam pengelolaan energi sekunder (PLN), byar-pet-nya PLN juga diakibatkan oleh salah urus Pemerintah. Menurut Ir. Daryoko (Ketua SP PLN), byar-pet-nya PLN salah satu penyebabnya adalah adanya inefisiensi ‘sistemik’. Hal mi disebabkan oleh kelangkaan pasokan energi primer (batubara dan gas) di
pembangkit-pembangkit yang ada. Sebab, tatkala berbicara tentang inefisensi, menurut Ir. Daryoko, sebenarnya tahun 80-an PLN sudah menyiapkan beberapa pembangkit yang bisa dioperasikan dengan bahan bakar gas dan minyak (dual firing). Pembangkit mi mampu menghasilkan daya sebanyak 37% dan total daya yang dihasilkan seluruh pembangkit PLN.
UntukJawa-Bali saja, masih menurut Ir. Daryoko, yang memiliki 90% dan total kapasitas terpasang PLTU/PLTGU PLN, semuanya telah dibuat dengan sistem dual firing. Pembangkit mi seharusnya dioperasikan pakai gas, karena biayanya lebih murah. Jika dioperasikan dengan gas maka hanya membutuhkan biaya Rp 7 triliun/tahun. Namun, kronisnya, pasokan gas saat mi tidak ada, karena ada regulasi minyak dan gas yang njomplang’; sebagian besar justru diekspor ke luar negeri, bukan untuk pasokan kebutuhan dalam negeri. Jika pembangkit memakai minyak maka biayanya sebesar Rp 33 triliun/tahun. Jadi, gara-gara tidak ada gas maka terjadi inefisiensi sistemik sebesar Rp 26 triliun/tahun.
Walhasil, semakin melambungnya harga BBM dan gas berakibat pada kelangkaan pasokan bahan bakar ke PLN. Akibatnya, terjadilah pemadaman bergilir disebabkan oleh salah urus dalam energi primernya.

Asing Diuntungkan
Siapa yang diuntungkan di atas penderitaan rakyat mi? Jawabannya adalah asing dan para anteknya! Asinglah yang secara real telah memiliki berbagai energi primer negara in Pemaksaan sistem ekonomi kapitalis, yang menyebabkan berbagai liberalisasi di sektor energi, adalah jalan asing untuk menguasai eneri primer kita.
Liberalisasi berbagai sektor strategis di negeri mi sangat sistematis dan rapi. Bahkan langkah demi langkah dilakukan dengan cermat. Ketika masyarakat negeri mi euporia dengan reformasi, berbagai UU energi primer telah diubah oleh asing. UU No. 22/2001 tentang minyak dan gas bumi, pembuatannya dibiayai oleh USAID dan World Bank sebesar 40 juta dolar AS. UU No. 20/2002 tentang kelistrikan dibiayai oleh Bank Dunia dan ADB sebesar 450 juta dolar AS. UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air pembuatannya dibiayai oleh Bank Dunia sebesar 350 juta dolar AS. (Abdullah Sodik, SP Pertamina, “Pengelolaan Migas Amburadul?” Jakarta, 12 Juni 2008).
Demikian halnya dengan listrik. Krisis listrik dengan segala macam pencitraan negatif tentang PLN merupakan paket liberalisasi energi mi. PLN terus dicitrakan negatif dan tidak efesien. Dengan kondisi PLN demikian, menurut UU Kelistrikan No. 20/2002, maka arahnya PLN mi akan diswastakan. Perlu diketahui, bahwa harga minimal sebuah pembangkit listrik adalah Rp 5.5 triliun. Dengan harga sebesar itu, dipastikan yang akan membeli pembangkit tersebut adalah swasta asing.

sumber : http://drailand.com/?p=27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar