Postingan Populer

Sabtu, 13 November 2010

Kekerasan Pemberitaan dan Jurnalisme Damai Sebagai Alternatif Peliputan Konflik



Mukaddimah

Kekerasan suatu hal yang tidak dapat dibenarkan. Kekerasan tentunya terbagi kepada kekerasan fisik dan kekerasan mental (psikis). Kekerasan yang terjadi terhadap fisik tentu bisa disembuhkan melalui medis. Namun, kekerasan psykis butuh waktu lama untuk penyembuhan malah akibatnya bisa menjurus ke trauma yang tidak berkesudahan. Latarbelakang terjadinya kekerasan tentu dilandasi oleh berbagai hal. Ada faktor keluarga yang bermuara pada kekerasan, akibat hasutan kawan atau akibat kepentingan politik. Dan, yang paling banyak terjadi sekarang adalah kekerasan fisik.

Lalu apa hubungan kekerasan dengan pemberitaan. Tentu sangat erat hubungan. Kekerasan itu terjadi akibat salah informasi atau hasutan dari pihak lain sehingga bermuara pada kekerasan. Untuk hal ini ada kekerasan fisik dan kekerasan psykis yang mengakibatkan trauma berkepanjangan. Pemberitaan terhadap sesuatu hal yang menyudutkan orang lain atau dilakukan sepihak sangat rentan terjadinya kekerasan. Obyek pemberitaan dan dirugikan akibat pemberitaan akan mencari siapa yang menulis berita itu. Malah ujung-ujungnya dari hal ini bisa berakibat fatal pada media dan sipenulis itu sendiri.

Begitujuga pemberitaan yang menyangkut terganggunya kepentingan politik sesuatu kelompok juga berakibat buruk. Dan, tak jarang apabila ada satu topik pemberitaan yang merugikan satu kelompok maka komunitas itu akan mencari tahu siapa yang menulis berita ini dan apa urgensinya sehingga ia harus mengumbarnya ke publik. Disinilah dilematis seorang pewarta. Disatu sisi harus menyajikan berita kepada publik, tetapi disisi lain harus berhadapan dengan senjata atau penguasa. Hal ini terjadi didaerah yang proses demokrasinya masih pancaroba.

Tentu, pihak yang protes terhadap suatu pemberitaan tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Mungkin kemarahan itu dipicu akibat berita yang menafikan keseimbangan (cover both side). Penulis melakukan kebijakan hantam kromo demi untuk kepentingannya yang tidak terakomodir. Dan, ini sering terjadi dikarenakan ilmu jurnalistik dan etika pers yang dimiliki wartawan masih dangkal terhadap fungsi yang ia emban. Dia tidak mengetahui bagaimana efek dari berita yang ia tulis. Dia tak paham, bahwa tulisan yang disajikan ke masyarakat merupakan sebuah pembenar untuk memvonis seseorang atau satu kelompok itu bersalah.Padahal, fungsi pers tidak demikian. Dia bukan penyidik atau hakim yang memvonis orang itu bersalah. Pers hanya sebagai alat control social dan tidak lebih dari itu.

Biasanya, masyarakat awam, akan menjadikan berita ini sebagai faktor pembenar. Ini sering terjadi, malah ada orang yang mengatakan, kalau sudah ada berita dikoran berarti sudah benar. Padahal, bila dikaji pembenaran itu perlu didiskusikan lebih jauh. Dan, bila ditelusuri, ternyata tulisan yang disampaikan hanya untuk memojokkan seseorang atau menghakimi orang lain. Dan, hal inilah yang menyebabkan orang lain marah akibat kekerasan yang dilakukan. Ini menjurus kepada kekerasan psikis jiwa. Hal ini sulit disembuhkan dan butuh waktu lama.

Padahal, bila didalami secara benar, pewarta merupakan pekerjaan mulia. Disini pers berfungsi sebagai sarana pendidikan dan penyamapian pesan-pesan kebaikan. Tentu timbul pertanyaan, apakah tidak boleh mengkritik. Apakah pers harus menjadi corong, politisi, birokrat atau sarana bagi para pemegang kepentingan. Jawabannya tidak demikian. Meskipun tidak bisa lepas dari beberapa hal diatas, tetapi pers harus berdiri pada semua kepentingan. Pers ibarat lilin yang memberi penerangan bagi orang lain meski harus menghadapi risiko.

Begitu juga kalau ingin mengkritik, lakukanlah secara bijak dan tidak asal menggunakan bahasa. Pihak yang dikritik punya perasaan, keluarga dan teman. Bila mereka terus didhalimi, tentu ini tidak sehat dan kolega mereka akan bangkit untuk membela diri. Karena itu, trial by the press (penghakiman melalui media pers) harus dihilangkan sehingga pemberitan tidak menjadi sarana untuk menciptkan dan melanggengkan konflik.

Kenapa Harus Jurnalisme Damai

Berbicara tentang jurnalisme damai (JD), tentu sangat bijak bila terlebih dahulu membuka literatur dari mana JD ini muncul. Kalau hanya sekedar meraba-raba, tentu asal JD akibat dari konflik dan para pembaca, pemirsa dan pendengar sudah jenuh dengan berita kekerasan dan konflik. Alternatif pilihan, masyarakat beralih pada membaca berita yang sejuk serta memberi harapan untuk masa mendatang. Anggapan ini tentu tidak ada salahnya. Sebab, fungsi dari JD adalah menggali akar persoalan, mencari sisi-sisi lain yang mengakibatkan orang lain menderita tanpa harus terjebak pada kepentingan pihak tertentu.

Agar pembahasan terfokus, maka lebih baik kembali kebelakang melihat sejarah singkat jurnalisme damai. Johan Galtung, professor studi perdamaian dan juga direktur Transcend Peace and development Network, pertama kali menggunakan istilah jurnalisme damai pada tahun 1970. Galtung mencermati banyaknya jurnalisme perang yang mendasarkan diri pada asumsi yang seperti haknya wartawan meliput masalah olahraga. Yang ada cuma terfokus tentang kemenangan penting dalam sebuah permainan menang kalah antara dua belah pihak. Ia kemudian mengusulkan agar JD mengikuti contoh dalam liputan masalah kesehatan. Seorang koresponden masalah kesehatan akan menjelaskan perjuangan yang diderita seorang pasien melawan sel-sel kanker yang perlahan-lahan menggerogoti tubuhnya. Wartawan ini akan menjelaskan kepada pembacanya tentang penyebab terjadinya kanker, gaya hidup, lingkungan sekitarnya, faktor genetik dan lain serta memberikan gambaran tentang kemungkinan penyembuhan penyakit tersebut dan hal-hal pencegahan yang bisa dilakukan sebelumnya.

Langkah pertama penerapan JD telah dilakukan untuk melatih wartawan di Timur Tengah, Norwegia dan Indonesia. Berikut adalah apa yang harus dilakukan oleh wartawan damai. Dia akan melihat konflik secara menyeluruh dan berorientasi pada menggali proses terjadinya konflik serta memaparkan liputan yang berorientasi pada situasi kedua belah pihak yang menang atau dengan istilah win win solution. Sedangkan wartawan yang anti damai akan memaparkan berita terfokus pada arena konflik kedua belah pihak dengan tujuan menang perang serta menghadirkan orientasi umum tentang pertarungan menang kalah. Dua hal diatas tentu sangat kontradiktif. Yang satu menyajikan berita secara sejuk dan tidak memprofokasi, serta yang satunya lagi terfokus pada konflik kedua belah pihak dengan orientasi menang atau kalah. Hal ini tidak akan mengubah keadaan, tetapi akan lebih runyam.

Apa Yang Harus Dilakukan Jurnalis Pedamaian

Dalam bahasan ini akan ada beberapa tips tentang tindakan apa yang harus dilakukan oleh wartawan cinta damai. Yang pertama, hindari penggambaran bahwa konflik hanya terdiri dari dua pihak yang bertikai atas satu isu tertentu. Konsekwensi logis dari penggambaran semacam ini adalah satu pihak yang menang dan satu pihak yang kalah. Padahal lebih baik menggambarkan ada banyak kelompok kecil yang terlibat mengejar bebagai tujuan dengan membuka lebih banyak kemungkinan kreatif yang akan terjadi.

Kemudian, hindari penerimaan perbedaan tajam antara aku dan yang lain. Hal ini biasa digunakan untuk membuat perasaan bahwa pihak lain adalah ancaman atau tidak bisa diterima tingkah laku yang beradab. Keduanya merupakan pembenaran untuk terjadinya kekerasan. Dan, lebih baik mencari yang lain dalam diri aku dn juga sebaliknya. Bila suatu kelompok menampilkan dirinya sebagai pihak yang benar, tanyakan bagaimana perbedaan perilaku yang sesungguhnya dari pihak yang salah dari mereka apakah ini tidak akan membuat mereka malu.

Kemudian, hindari memperlakukan konflik seolah-olah ia hanya terjadi pada saat dan tempat kekerasan terjadi. Lebih baik mencoba untuk menelusuri hubungan dan sebab akibat yang terjadi bagi masyarakat di tempat lain dan pada saat ini dan saat mendatang. Pertanyaan simple yang bias diajukan dalam hal ini yaitu, siapakah orang-orang yang akan beruntung pada akhirnya? Pelajaran apa yang didapat oleh masyarakat dengan melihat peristiwa ini secara jelas, sebagai bagian dari pemirsa global? Bagaimana masyarakat akan menghitung para pihak yang bertikai dimasa mendatang dalam konflik yang dekat dan jauh dari lingkungannya.

Kupasan diatas hanya sekelumit tentang jurnalisme damai. Hanya sekelompok orang yang bias melakukan ini dan ini pekerjaan orang-orang yang anti kekerasan. Tetapi bagi mereka (pemberita) yang ingin mendapat berita besar, tentu konflik akan diesploitasi hanya untuk menaikkan rating suatu unit pemberitaan atau agar koran tempat ia menuli laku terjual. Padahal, tanpa disadari, pemberitaan yang disajikan telah mendiskreditkan satu golongan. Dan, ini merupakan gunung es yang setiap saat mengancam keselamatan media atau penulis itu sendiri.

Daftar Bacaan : Jurnalisme Damai Bagaimana Melakukannya
(Annabel McGoldrick dan Jake Lynch) yang dikeluarkan oleh Lebaga Studi Pers Pembangunan (LSPP) kerjasama dengan Kedutaan Besar Inggris.

sumber : http://komunikasiunimal.multiply.com/journal/item/43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar