September lalu Menteri Luar Negeri Jepang telah meminta maaf atas tindakan brutal dan tidak berperikemanusiaan yang dilakukan terhadap para tahanan perang Jepang pada Perang Dunia II. Meskipun tidak secara eksplisit menyatakan tanggujawab pemerintahan Jepang atas kejahatan perang tersebut, namun jelaslah yang dimaksud Menlu Jepang tersebut adalah ulah rejim militer fasis Jepang di bawah kepemimpinan Jenderal Tojo. Apalagi ketika pernyataan maaf tersebut dikemukakan di depan para eks tawanan perang Jepang asal Amerika Serikat ketika berkunjung ke Jepang atas sponsor negara sakura tersebut.
Menurut riset data yang berhasil dihimpun Global Future Institute, pada 1942 ada sekitar 78 ribu tawanan perang Jepang yang terdiri dari 12 ribu tentara Amerika dan 66 ribu Filipina. Mereka dipaksa untuk berjalan kaki dari semenanjung Bataan yang berada di kepulauan Luzon, Filipina, menuju camp tawanan pemerintahan pendudukan militer Jepang. Diperkirakan ada sekitar 11 ribu tawanan perang yang tewas.
Kisah tragis rupanya tidak berhenti di situ saja. Lester Teney, 90 tahun, termasuk salah satu eks tawanan perang Jepang asal Amerika yang masih hidup hingga sekarang. Menurut penuturannya, dirinya dan beberapa tawanan lainnya kemudian secara paksa dikirim ke Jepang untuk menjalani kerja paksa yang kelak dikenal sebagai Romusha.
Dari kisah ini kemudian terungkap bahwa selain keganasan rejim militer fasis Jepang dalam menerapkan sistem kerja paksa Romusha, beberapa perusahaan besar Jepang baik berskala nasional maupun internasional nampaknya ikut memainkan peranan besar dalam menciptakan tidak saja romusha, melainkan juga apa disebut Jugun Ianfu alias Comfort Women.
Sebut saja misalnya perusahaan Jepang Mutsui Mining Co, atau yang sekarang dikenal Nippon Coke and Engineering Co. Perusahaan ini, terkait dengan kasus pengalaman Lester Tenney di Semenanjung Bataan, ternyata memainkan peranan besar dalam pengiriman secara paksa para buruh romusha tersebut.
Maka bisa dipastikan masih ada banyak lagi perusahaan-perusahaan Jepang baik papan atas maupun menengah yang memainkan peran seperti Mitsui Mining Co alias Nippon Coke and Engineering tersebut.
Karena itu, sudah selayaknya kita menaruh kecurigaan yang tinggi terhadap serangkaian bantuan luar negeri Jepang kepada negara-negara eks jajahan Jepang di Asia Pasifik, tak terkecuali Indonesia. Mengingat besarnya jumlah dana bantuan baik berupa hibah (grant) maupun hutang, maka bisa dipastikan sumber dana bantuan keuangan tersebut berasal dari parah pengusaha maupun korporasi Jepang yang cukup besar di Indonesia.
ODA: Official Development Assistance
Salah satu yang perlu mendapat sorotan tajam adalah ODA (Official Development Assistance) sebagai perangkat terpenting dari bantuan luar negeri Jepang kepada negara-negara berkembang tak terkecuali Indonesia.
Sejak 1989 Jepang praktis telah menggeser kedudukan Amerika Serikat sebagai negara donor terbesar di dunia. Hingga tahun 2001 Jepang telah memberikan sekitar 136 miliar dolar AS kepada negara-negara berkembang. Menariknya, Indonesia adalah penerima dana ODA terbesar, menerima sekitar 18,2 miliar dolar AS (14,5 miliar dolar di antaranya merupakan bantuan untuk pemerintah). Indonesia merupakan penerima dana ODA terbesar sejak 1970, kecuali pada 1997-1998 ketika Cina merupakan penerima dana ODA terbesar.
Dengan begitu, Indonesia praktis telah menyerap 13,4 persen daro total seluruh dana bantuan ODA Jepang. Data ini saja sudah cukup memicu tanda-tanya, karena dibandingkan India hanya menyerap 5,8 persen dan Cina yang menyerap 11,7 persen, dua negara Asia yang penduduknya jauh lebih besar daripada Indonesia, mengapa Indonesia bisa menerima dana bantuan jauh lebih besar?
Salah satu kunci untuk membuka misteri adalah disepakatinya perjanjian Pampasan Perang Jepang antara Indonesia-Jepang pada 1958. Besar dugaan bahwa kesepakatan Pampasan Perang Jepang ini telah menghasilkan sebuah koloborasi baru antara Indonesia dan Jepang pasca Perang Dunia II. Dan hasilnya adalah berupa dana bantuan ODA kepada Indonesia dalam skala jumlah yang cukup besar.
Sisi lain yang tak kalah mencurigakan, salah seorang sumber Global Future Institute menginformasikan bahwa dalam perjanjian Pampasan Perang 1958 antara Indonesia-Jepang tersebut, ternyata sama sekali tidak mencakup tiga komponen penting kejahatan perang Jepang di Indonesia seperti Jugun Ianfu (Perbudakan Sex), Romusha (Forced Labor) dan Heiho (Sistem Paksa untuk ikut Wajib Militer). Berarti, dana pampasan Perang 1958 tersebut sama sekali tidak menganggarkan untuk kompensasi dan ganti rugi material maupun immaterial terhadap para korban dari tiga komponen kejahatan perang Jepang tersebut.
Nampaknya, bagi Jepang jauh lebih penting dan strategis untuk menyuap para pejabat tinggi pemerintahan Indonesia daripada memberikan ganti rugi yang cukup layak kepada rakyat Indonesia yang menjadi korban dari Jugun Ianfu, Romusha dan Heiho. Dengan menyuap para para petinggi pemerintahan Indonesia melalui ODA, maka Jepang praktis bisa menguasai geopoliti/geo-ekonominya untuk melayani kepentingan jangka panjang ekonomi-bisnis Jepang. Bagi Jepang, Indonesia secara strategis penting karena menguasai Selat Sunda, Selat Malaka, Selat Makasar. Melalui ketiga selat tersebut, kapal-kapal tanker minyak Jepang melintasi daerah tersebut untuk memasok minyak ke negaranya.
Belum lagi Indonesia di mata Jepang memiliki beberapa sumber daya alam seperti nikel, LNG, tambang, tembaga dan batubara.
Itu sebabnya dana bantuan ODA pada Indonesia hanya untuk melayani pembangunan-pembangunan berskala besar seperti Proyek Pembangunan Asahan, bisnis penyulingan alumunium, dan bendungan hidro-elektrik di kepulauan Sumutra . Dengan demikian, Jepang berhasil menguasai alumunium dengan harga murah.
Inilah salah aspek dari bantuan luar negeri Jepang yang kiranya perlu mendapatkan perhatian khusus dari khalayak ramai, khususnya yang secara intensif memonitor hubungan Indonesia-Jepang sejak era kemerdekaan hingga sekarang. Betapa seluruh dana bantuan luar negeri Jepang seperti ODA maupun yang sejenis dengan itu, pada perkembangannya lebih ditujukan untuk melayani kepentingan para pejabat dan pebisnis besar Indonesia, dan mengabaikan secara sengaja untuk membantu rakyat kecil, khususnya yang terkait langsung dengan kejahatan perang Jepang seperti soal Jugun Ianfu, Romusha, dan Heiho, akibat dari militerisme Jepang di Indonesia pada 1942-1945.
sumber ; http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=3041&type=101
Postingan Populer
-
Dari berbagai sumber Senin, 10 September 1984. Seorang oknum ABRI, Sersan Satu Hermanu, mendatangi mushala As-Sa'adah untuk menyita p...
-
Pers merupakan salah satu garda demokrasi. Tingkat demokratisasi suatu bangsa dapat diukur dari kebebasan pers yang dianut sistem sosial k...
-
Masih dalam suasana dirgahayu kota Jakarta yang ke-484, saya ingin memposting mengenai kesenian Lenong Betawi. Kesenian ini mampu bertahan ...
-
Ini adalah daftar video musik yang disensor baik oleh MTV, MTV2, VH1, CMT, BET, Q TV, Juice TV, Fuse, The Box, C4 atau MuchMusic . Termasu...
-
Solo yang dikenal sebagai salah satu kota budaya dan juga sebagai salah satu kota yang sejak dulu menjadi barometer scene underground tanah...
Sabtu, 27 November 2010
ODA: “Uang Tutup Mulut” ala Jepang Bagi Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar