Postingan Populer

Sabtu, 13 November 2010

Jurnalisme Damai, Meretas Ideologi Peliputan di Arena Konflik



Konflik memang selalu menarik untuk di kaji secara dalam dan ilmiah. Hal ini di karenakan, perkembangan dunia yang tidak pernah sepi dari perang, konflik, pertikaian dan jauh dari rasa aman. Para pakar sibuk alang kepalang untuk mencarai sebab konflik dan solusinya. Tujuannya, agar masyarakat menikmati kata kemerdekaan yang sebenarnya. Merdeka dari rasa takut, merdeka untuk mengeluarkan pendapat dan lain sebagainya. Dewasa ini, kajian tentang Jurnalisme Damai memang hangat di bicarakan oleh kalangan publisistik, Jurnalistik, Ilmu Komunikasi dan para wartawan sebagai pelaku kegiatan meliput peristiwa konflik itu sendiri.

Aliran Peace Journalism (Jurnalisme Damai) ini di kembangkan oleh Johan Galtung, seorang profesor di bidang Ilmu Damai European Peace University. Ilmu Galtung berawal dari niat baiknya untuk mencari salah satu solusi dari perang dan konflik itu sendiri. Begitulah Galtung saat itu. Namun, dalam tulisan ini, saya ingin memaparkan beberapa hal yang esensial tentang Peace Journalism.

War Journalism VS Peace Journalism

War Journalism (Jurnalisme Perang) bukanlah hal baru dalam dunia jurnalistik. Jurnalisme perang atau dengan istilah lain di kenal dengan sebutan wartwan perang telah lahir bukan hanya di Indonesia. Namun, negara-negara seperti Amerika juga memiliki wartawan jenis ini. Wartawan perang merupakan wartawa-wartawan yang cendrung mengedepankan sisi-sisi pemberitaan yang di tangkap dari konflik itu sendiri. Tanpa memikirkan efek pemberitaan terhadap masyarakat (publik) yang membacanya. Misalnya, seorang wartawan memberitakan tentang peristiwa kontak-tembak di Nisam Ateuh Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara. Kontak tembak tersebut di gambarkan dengan mengedepankan jumlah korban, berapa korban dari pihak GAM dan berapa korban dari pihak TNI. Kemudian, tidak lupa, si wartwan juga menuliskan tentang amis darah dan lain sebagainya yang dapat di tangkap secara langsung oleh indera penglihatannya. Tidak jarang pula wartawan perang ini, hanya menulis peristiwa kontak-tembak dari jaraka sekian ribu meter. Sebenarnya, dia sendiri tidak tahu persis tentang cerita kontak tembak tersebut. Inilah yang di namakan wartawan perang.

Ilustrasi di atas dapat di maknai, jika, si wartawan menulis bau amis darah dan kematian dalam situasi konflik seperti itu, alamat konflik di daerah tersebut semakin memanas. Karena orang-orang yang bertikai akan semakin dendam saat melihat angka-angka korban jiwa dan amis darah. Bukankah ini semakin memperuncing susana?

Lalu bagaimana dengan aliran Peace Journalism? Aliran ini mengamanahkan kepada wartawan yang meliput konflik agar cendrung mengedepankan sisi –sisi humanis dari konflik itu sendiri. Sesungguhnya, wartawan yang menulis berita dan karena berita itu orang-orang yang bertikai semakin menyimpan dendam, maka wartawan juga turut berdosa dalam konflik tersebut. Mengedepankan sisi-sisi humanis (kemanusiaan) merupakan ciri khas dari Jurnalisme Damai. Misalnya, saat terjadi kontak tembak antara TNI dan GAM di Meurandeh Alue Kecamatan Bandar Dua Kabupaten Pidie,maka wartawan yang mengusung aliran ini akan mengangkat efek dari konflik itu sendiri. Banyak sekali efek yang dapat di angkat dalam sebuah konflik, sebut saja diantaranya tentang Calon Pengantin yang seharusnya menikah besok pagi. Namun, karena hari ini terjadi perang, maka dia gagal menikah. Pasalnya si pengantin terkena peluru nyasar saat kontak tembak itu terjadi. Setelah mengulas angle (sudut pandang) ini maka, baru di balut dengan berapa orang korban jiwa dan lain sebagainya sebagai pelengkap data.

Dalam liputan konflik, ada juga yang di sebut Jurnalisme Patriotik. Saat darurat militer di Aceh beberapa waktu lalu, kata ”Jurnalisme Patriotik” di cetuskan penguasa darurat militer saat itu, Endang Suwarya (Pangdam Iskandar Muda-Aceh). Entah bagaimana kata patriotik ini melekat dalam diri wartawan. Yang jelas, patriotik yang di maksud Endang Suwarya adalah wartawan harus membela kepentingan negara dalam situasi darurat militer. Mantan Pangdam ini juga menyebutkan, bahwasanya wartawan tidak perlu mengutif keterangan dari pihak GAM. Hal senada juga di ungkapkan, Kapuspen Syafri Maa’rif. Menurutnya, wartawan tidak perlu mengutif pernyataan GAM karena GAM sering bohong dan lain sebagainya (Iswandi Syahputra.2006). Artinya, dalam kasus ini unsur, cover both side telah hilang. Sebuah berita seharusnya tidak dapat di siarkan atau di tayangkan tanpa melengkapi unsur ini. Meskipun begitu, dalam arena konflik media di lokal maupun nasional di Aceh masih berupaya untuk mengkonfirmasi berita kepada kedua belah pihak.


Teknik Menembus Narasumber

Narasumber terdiri dari :

1. Seseorang yang mengalami

2. Seseorang yang melihat

3. Seseorang yang banyak mengetahui

4. Seseorang yang memiliki wewenang

Secara sederhana, narasumber adalah ”Deep throat” (Siapa mereka dan mengapa?)


Verifikasi Nara Sumber

Hanya ada dua hal dalam bagian ini, yaitu :

1. Kapan?

2. Bagaimana?

Perlu juga memperhatikan karakter narasumber, apakah narasumber memiliki track

record sebagai pembohong? Atau pembicaraannya hanya mengalihkan perhatian publik dan memiliki kepentingan tertentu?


Mengembangkan Lobi

1. Kenali narasumber (posisinya dalam peta persoalan. Karakternya dan lain sebagainya.

2. Dapatkan sumber kunci dalam setiap kelompok, (faksi-faksi dalam GAM, AMM, TNI, Polri dan lain sebagainya)

3. Efisien; tak perlu dekati semua orang dalam tiap kelompok sumber

4. Dekati, pastikan nomor HP disimpan narasumber. Kontak secara reguler sampai narasumber mengingat kita.

5. Libatkan diri kita dalam kegiatan narasumber

6. Setelah itu boleh mundur sedikit sambil tetap memelihara kontak


Menjaga Jarak dengan Nara Sumber

1. Wartawan netral, pastikan nara sumber mengetahui itu

2. Seraya menjaga netralitasnya, wartawan menggali informasi dari nara sumber

3. Hubungan wartawan saling membutuhkan (Benci Tapi Rindu atau Benci bilang Cinta)

4. Skeptis terhadap narasumber.


sumber : http://komunikasiunimal.multiply.com/journal/item/43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar