Postingan Populer

Senin, 17 Januari 2011

Presiden Membangun Papua dengan Bencana



WALHI 05/09/10, Jakarta - Kekhawatiran bahwa food estate (pertanian skala luas) akan membawa masalah ke Papua, semakin nyata. Selain karena akan mengambil wilayah hutan, meminggirkan masyarakat adat Papua dari tanah adatnya, mengakibatkan kesenjangan sosial dan mencemari lingkungan juga akan menyebabkan konflik berkelanjutan di Merauke. Karena sebenarnya MIFEE dijalankan bukan untuk masyarakat Papua akan tetapi untuk pemenuhan dan perputaran modal korporasi besar seperti Wilmar, Sinar Mas dan Medco.

Proyek Merauke Integrate Food and Energi Estate (MIFEE) akan mengambil lahan yang sebagian besar merupakan kawasan hutan dan lahan masyarakat adat seluas 1,6 juta Ha yang kesemuanya telah dibagi-bagi untuk 32 perusahan. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah dan Perizinan (BKPMDP) Pemerintah Kabupaten Merauke, 32 perusahaan yang telah mendapat izin prinsip tersebut bergerak pada beberapa sektor. sektor kelapa sawit (316.347 Ha), perkebunan tebu (156.812), perkebunan jagung (97.000 Ha), areal HTI (973.057,56 Ha), areal tanaman pangan (69.000 Ha), pengolahan kayu serpih (2.818 Ha) dan areal pembangunan dermaga (1.200 Ha). Total kesuluruhan izin yang sudah dikeluarkan sebesar 1.616.234,56 Ha.

Masuknya Wilmar yang mendapatkan alokasi areal seluas 200.000 Ha. menunjukan bahwa MIFEE tidak direncanakan secara baik termasuk program revitalisasi gula. Dalam Cetak Biru Roadmap Swasembada Gula Nasional 2010-2014, Wilmar hanya membutuhkan areal seluas 10.000 Ha dengan kebutuhan tambahan areal 10.000 Ha dan kapasitas pabrik 8000 ton perhari (TCD).

Perubahan fungsi dan peruntukan kawasan seluas jutaan hektar tersebut akan berimplikasi kepada semakin rentannya masyarakat di Papua khususnya di Merauke terhadap bencana ekologis dan pemiskinan secara sistemik. Hal tersebut sudah menjadi rahasia umum, bahwa tidak ada masyarakat yang makmur sejahtera dan hidup harmonis di sekitar lokasi project.

Banyaknya perusahaan yang akan masuk dalam proyek ini seperti Wilmar, Sinarmas, Bakrie Sumatera Plt, Medco, Bangun Cipta Sarana dan Artha Graha, akan menyebabkan eksodus besar-besaran ke Merauke. Dan masyarakat lokal hanya akan menjadi penonton atau buruh kasar. Belum lagi akan terjadi diskriminasi upah antara tenaga kerja lokal dan luar negeri juga antara masyarakat trans dan masyarakat adat, seperti yang terjadi dalam kasus PT. Wilmar di Riau.

Pembukaan hutan dalam jumlah besar akan berdampak pada berubahnya ekosisitem dan daya dukung lingkungan. Selain itu kebutuhan air dalam jumlah besar dapat mengancam ketersediaan air warga. Sementara pemakaian pupuk kimia dan racun pestisida dalam jumlah besar beresiko mencemari lingkungan.

Mengutip pernyataan Presiden SBY pada hari Rabu (5/4/2006) pagi, ketika memberikan sambutan pada acara panen raya padi musim tanam 2005/2006 di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, yang menyatakan bahwa “meminta dan mengajak semua masyarakat Papua agar tidak mudah terpengaruh oleh ajakan berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk menciptakan masalah baru di Papua. Karena masalah-masalah yang ada di Papua adalah masalah dalam negeri kita sendiri”

Empat tahun setelah itu dan seakan lupa akan janjinya, pemerintah menerbitkan PP No.18/2010 tentang budidaya tanaman sebagai pintu masuk dan legitimasi MIFEE di Merauke. Sebuah proyek yang akan diberikan bagi perusahaan skala besar swasta dan asing yang bermasalah, seperti Wilmar dan Sinar Mas.

Kepala Departemen Kampanye WALHI, Teguh Surya menyatakan diizinkannya perusahan-perusahaan itu ke Merauke, sama saja dengan mengajak swasta dan asing untuk membawa dan membuat masalah di Merauke karena perusahaan tersebut sumber malapetaka yang selama ini terjadi di Indonesia.

Oleh karena itu WALHI meminta pemerintah untuk meninjau ulang proyek ini sebelum menimbulkan masalah besar di Papua. Kedaulatan pangan Indonesia dapat dicapai dengan melibatkan rakyat banyak terutama petani secara utuh dan terintegrasi dalam rencana pemenuhan pangan. Selama ini masalah pertanian justru ditimbulkan karena tingginya konversi lahan pertanian, kecilnya kepemilikan lahan petani dan lemahnya dukungan pemerintah.

M. Islah, Manager Kampanye Air dan Pangan WALHI menambahkan, “Akan lebih tepat jika pemerintah melakukan penataan ulang struktur kepemilikan lahan dan besungguh-sungguh mendukung usaha pertanian rakyat (Reforma Agraria), daripada menyerahkan urusan pangan kepada swasta karena beresiko pada kedaulatan bangsa” ungkapnya tegas. (selesai)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar