Postingan Populer

Selasa, 11 Januari 2011

Negeri Para Joki



Selamat datang di negeri joki. Di negara ini, ada banyak hal yang bisa diwakilkan kepada para joki. Mulai dari joki three-in-one yang mangkal di mulut-mulut jalan protokol Ibu Kota, joki yang mewakili calon mahasiswa perguruan tinggi, hingga mereka yang menggantikan calon pegawai negeri sipil dalam ujian penerimaan. Berita terakhir yang cukup mengejutkan adalah munculnya joki narapidana.

Kisah perjokian narapidana ini memang baru sekali ini terungkap. Kasiem, seorang narapidana kasus penyelewengan pupuk yang sudah divonis bersalah dan harus dipenjara, digantikan oleh Karni, yang konon mendapat bayaran Rp 10 juta. Usaha ini terungkap secara tak sengaja. Gara-garanya, tetangga Kasiem yang menjenguk ke sel tak mendapati sang narapidana. Ia justru bertemu dengan Karni, yang tak dikenalnya.

Kasus ini mungkin terlihat kecil dan berskala lokal. Tapi penyelesaiannya tidak cukup dengan hanya memecat dan memutasi pejabat yang terlibat. Apa yang terjadi di Bojonegoro itu hanyalah satu dari sekian banyak cara untuk mengakali hukuman. Kebobrokan aparat negeri ini membuat hukuman penjara tak lagi menimbulkan efek jera. Ada banyak cara yang dipakai agar tembok penjara setipis kertas koran.

Jika berduit banyak seperti Gayus Tambunan, orang bahkan tak perlu menyewa joki. Ia bisa keluar-masuk rumah tahanan berpuluh-puluh kali, terbang ke luar negeri untuk mengurus aset kekayaannya, atau pelesir ke Bali sambil menonton bola tenis yang terpental-pental. Kalaupun tak bisa keluar, sel penjara toh bisa disulap menjadi senyaman hotel, seperti dilakukan Ayin atau Artalyta Suryani. Bahkan, dari penyelidikan Badan Narkotika Nasional, banyak bandar narkotik menjadikan penjara sebagai “kantor”. Dari dalam bui, mereka mengatur perdagangan obat bius.

Vonis penjara dari hakim terlalu lama? Santai saja. Akan ada remisi dan berbagai pengurangan hukuman. Bila “berperilaku baik”, narapidana bisa benar-benar menghirup udara bebas jauh sebelum masa hukumannya selesai.

Itulah faktanya. Yang makin membuat miris, semua kebusukan itu terkesan ditutup-tutupi oleh aparat penegak hukum. Pengusutan baru dilakukan setelah masalahnya ramai dibicarakan publik. Pelesiran Gayus ke Bali dan luar negeri tidak terungkap oleh aparat, melainkan justru oleh laporan masyarakat--yang awalnya bahkan dibantah oleh penegak hukum. Demikian juga sel mewah Ayin dan kasus Kasiem di Bojonegoro. Semua diungkap dari laporan masyarakat. Ini menunjukkan adanya kongkalikong di antara petugas dan juga lemahnya pengawasan.

Salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Gayus Lumbuun, mengusulkan agar ada penambahan anggaran untuk lembaga pemasyarakatan. Sebab, menurut dia, minimnya anggaran menjadi sebab banyaknya ketidakberesan di sana. Anggaran yang minim memang masalah. Tapi bukan itu akar persoalannya. Masalah mendasarnya adalah kuatnya mental--meminjam judul salah satu film Warkop DKI--”Semua Bisa Diatur”. Petugas hukum dan aparat negara lainnya selalu punya cara untuk mengakali peraturan yang seharusnya mereka jaga.

Lalu, apa gunanya penjara? Apa gunanya hukuman? Apa gunanya pengadilan? Di negeri para joki ini, semua peraturan bisa diakali. Semua bisa diatur, dengan atau tanpa joki.

sumber : http://tempointeraktif.com/hg/opiniKT/2011/01/07/krn.20110107.223234.id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar